HARI RAYA NYEPI
Oleh
I Made Kartiada, S.Ag, M.Si
Penyuluh
Agama Hindu Kabupaten Badung
A. Pendahuluan
Hari
raya atau hari suci keagamaan merupakan tema pokok yang secara rutin
disampaikan dalam kegiatan bimbingan dan penyuluhan agama Hindu, yang
biasanya disampaikan menjelang
pelaksanaan hari raya tersebut. Hari
Raya atau Hari Suci (rerahinan) adalah hari yang diperingati
atau diistimewakan, berdasarkan keyakinan bahwa hari tersebut mempunyai makna
dan fungsi yang penting bagi kehidupan manusia dan alam semesta ini. Hari Raya
atau hari suci Agama Hindu merupakan momentum penting bagi umat Hindu dalam menjalani
hidup khususnya dalam upaya pendakian spiritual.
Pelaksanaan
Hari Raya atau Hari Suci jatuh pada suatu siklus tertentu berdasarkan
perhitungan yang sistematis. Agama Hindu
memiliki banyak Hari Raya atau Hari suci yang masing-masing memiliki pedoman
penetapan tersendiri. Dasar-dasar penetapannya yaitu meliputi unsusr-unsur : wewaran, sistem tithi (tanggal-pangelong
atau purnama tilem), wuku, sasih. Pertemuan-pertemuan antar unsur-unsur tersebutlah yang
diperingati sebagai Hari Raya atau Hari suci secara bersiklus.
Secara
garis besar Hari raya atau Hari Suci Agama Hindu dibagi menjadi dua yaitu : pertama yang berpedoman pada wuku yang dipadukan dengan wewaran yaitu sapta wara dan
panca wara sehingga waktu
pelaksanaannya setiap 210 hari, diantaranya Saraswati,
Galungan, Kuningan dan Tumpek-tumpek
yang lainnya, Budha Cemeng dll. Kedua
yang berpedoman pada sasih yang
dipadukan dengan tithi (tanggal-panglong
atau purnama tilem) yang jatuh tiap
tahun sekali, yaitu Nyepi dan Siwaratri.
Dari sekian banyak hari raya
yang ada dalam agama Hindu, Nyepi
adalah satu-satunya yang diakui secara nasional. Kalau pada hari Raya
Hindu seperti Galungan-Kuningan,
Siwaratri, Saraswati dan beberapa hari Raya lainnya tidak disertai libur
nasional akan tetapi Hari Raya Nyepi
peringatannya disertai dengan libur Nasional. Nyepi juga menjadi sorotan dunia karena pada pelaksanaan Nyepi khususnya di Bali
dilakukan penutupan stasiun angkutan umum, maupun bandara internasional. Untuk
itu Nyepi merupakan Hari Raya atau
Hari suci yang selalu menarik untuk dikupas, maka dalam kesempatan ini tema
yang saya angkat adalah tentang Nyepi.
B. Rangkaian
upacara sebelum Nyepi
Sebelum hari Raya Nyepi
dirayakan pada pinanggal pisan Sasih
Kedasa selalu didahului oleh upacara Melasti, Nyejer dan Tawur Kesanga.
1. Melasti
Melasti yang disebut juga melis atau makiyis dapat dilaksanakan mulai pada pinanggal 13 sampai pada hari
tilem secara kesanga. Namun sebagian besar umat Hindu di Bali melaksanakan melasti pada pinanggal 13 yang mengacu kepada petunjuk lontar Sundarigama yang menyebutkan “ikana pwa ya triya dacin ikang krsna paksa
lelastyakna ika pratima……”
Upacara
melasti ini dilakukan oleh berbagai
kelompok umat yang memiliki sungsungan
Pura. Simbol-simbol sakral seperti Pratima
atau Pecanangan dari Para Dewata
manifestasi Tuhan/Hyang Widhi yang
dipuja di suatu Pura tersebut berkumpul di Pura Desa dan simbol-simbol sakral
itu distanakan di Pura Desa Adat bersangkutan. Pada saat yang telah ditentukan
secara berpawai di Bali disebut mapeed
semua simbol-simbol sakral itu
diusung dari Pura Desa menuju sumber air seperti : laut, sungai, beji maupun
danau. Di sumber air itulah upacara puncak melasti
dengan inti upacara dengan inti upacara menghaturkan bhakti kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Baruna dan terakhir nunas tirtha wangsuhpada sebagai simbol tirtha amertha kamendalu yang didapatkan
di tengah Segara. Upacara melasti
mengelilingi jalan-jalan desa tempat pemukiman itu bertujuan untuk menyucikan
secara spiritual lingkungan desa tersebut. Penyucian itu dilakukan dengan
menghadirkan Pratima dan
simbol-simbol suci lainnya. Hal ini sangat diyakini oleh Umat Hindu vibrasi spiritual
kepada umat sekitarnya.
Makna upacara melasti dan Tawur Kesanga ini dijelaskan dalam Lontar Aji Swamandala dan Lontar
Sundarigama. Dalam Lontar Sang Hyang
Aji Swamandala disebutkan sebagai
berikut :
Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata
angayutaken Laraning Jagat, papa klesa,Letuhing bhuwana.
Artinya :
Melasti adalah menghanyutkan penderitaan
masyarakat, menghilangkan papa klesa dan kekotoran alam semesta.
Di dalam Lontar Sundarigama menyebutkan tujuan melasti adalah sebagai berikut :
“Amet sarining amertha
kamandalu ring telenging segara. “
Artinya :
Mengambil sari-sari
kehidupan di tengah samudra.
Dari kutipan Lontar tersebut diatas terkandung
makna yang sangat luas dan dalam mengenai arti dan makna Upacara Melasti tersebut. Luas dan dalam arti yang tersurat dan
tersirat dalam bunyi Lontar tersebut kalau kita kaitkan dengan kehidupan kita di planet Bumi ini. Dari kutipan Lontar Sang Hyang Aji Swamandala tersebut
Upacara Melasti menuntun melakukan
tiga langkah dalm hidup ini agara hidup itu menjadi bermakna tiga langkah
tersebut adalah :
a. Anganyutaken Laraning Jagat
Ini artinya dengan upacara Melasti kita dimotivasi secara ritual untuk membangkitkan spiritual
kita untuk berusaha menghilangkan Laraning
Jagat. Kata Jagat biasanya disinonimkan kata bhuwana yang memiliki makna yang menyeluruh atau luas.
Menghilangkan Laraning Jagat berarti
menghilangkan Lara yang ada di alam
luas ini (bhuwana agung) dan juga Lara yang ada dalam diri manusia (bhuwana alit). Kata Lara dan Jagat sudah
sangat dipahami oleh umat Hindu di Bali. Lara
ini agak mirip dengan hidup menderita. Hanya saja yang disebut dengan Lara tidaklah semata-mata orang yang miskin materi. Banyak juga orang kaya dan berkuasa,
orang yang berpendidikan tinggi, keturunan
bangsawan hidupnya Lara. Orang kaya
menggunakan kekayannya untuk membangkitkan kehidupan dengan mengumbar hawa
nafsu. Kekuasaan dijadikan media untuk mengembangkan ego atau menggunakan
kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi bukan untuk mereka yang menderita.
Demikian juga banyak ilmuwan menjadi sombong karena merasa diri pintar. Banyak
juga orang yang meninggi-ninggikan kewangsaannya. Sifat-sifat yang negatif
itulah yang akan menimbulkan disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Jadinya
menghilangkan baik yang bersifat niskala
maupun yang bersifat sekala.
b. Papa Klesa.
Para Pinandita
dan Pandita dalam mengantarkan Upacara
keagamaan Hindu selalu mengucapkan Mantram : Om Papa Klesa Winasanam. Mantram ini hampir tidak pernah
dilupakan. Arti mantram tersebut
adalah : Ya Tuhan semoga Papa Klesa
itu terbinasakan. Papa adalah
predikat bagi mereka yang dibelenggu oleh indria dan obyek indrianya sehingga
lupa akan jati dirinya ( tan menget ri
jatinia ). Hidup yang “Papa” disebabkan oleh klesa (penyakit batin/kemelekatan ) yang
mendominasi diri pribadi manusia. Dalam ajaran Yoga klesa disebut sebagai lima
kekuatan negatif yang dibawa oleh unsur pradhana
yang menghambat kotemplasi menuju Samadhi..
Kelima klesa itu terdiri dari : Awidya
(kebodohan/kegelapan), Asmita (pandangan
atau pemahaman yang salah), Raga (nafsu
yang tidak terkendali), Dwesa
(kebencian) dan Abhiniwesa (rasa
takut akan kematian). Inilah yang harus diatasi agar jangan hidup ini menjadi papa. Hidup yang papa itu adalah hidup yang berjalan jauh diluar garis dharma yang membawa orang semakin jauh
dari Tuhan.
c. Letuhing Bhuwana
Yang
dimaksud dengan bhuwana yang “ Letuh “ adalah alam yang kotor atau
tidak lestari. Letuh artinya kotor lahir batin. Kata Letuh
padanan katanya dalam Sansekerta adalah
mala yang merupakan kebalikan dari nirmala (suci). Kekotoran baik secara
lahir maupun batin merupakan hambatan untuk mendaki jalan spiritual menuju Yang
Maha Suci. Karena untuk menuju Yang Maha Suci Tuhan, tentunya diri kita juga
harus suci. Hal ini sesuai dengan Puja
banten Suci : “ agni madya rawis caiwa, rawis madya tu candramah, candra madya bhawet
sukla, sukla madya sthita siwah “. Puja ini menegaskan bahwa dalam kesucian
berstana Siwa. Maka sebelum memasuki Nyepi segala kekotoran yang ada di bhuwana agung dan bhuwana alit harus dilenyapkan.
2. Nyejer
Selesai upacara melasti di laut
atau di sungai maupun di danau segala simbol-simbol suci itu kembali diusung ke
Pura Desa dan distanakan di Bale Agung Pura Desa secara bersama-sama. Setelah melasti dilanjutkan dengan upacara nyejer. Upacara nyejer itu dilakukan dengan terus menstanakan simbol-simbol suci
seperti ; Pratima, Pecanangan dengan
segala perlengkapannya berkumpul di Pura Desa atau Bale Agung. Setiap hari
selama nyejer dihaturkan sesaji dan
dengan memperbaharui banten-banten
yang telah ada. Kata “Nyejer“ berasal
dari kata “jejer“ yang artinya tegak
tak tergoyahkan. Jadinya tujuan nyejer
yang sesungguhnya membangun sradha
dan bhakti yang tangguh atau jejer pada Tuhan. Rasa Ke-Tuhanan yang tangguh
itu akan dapat memberikan manusia kekuatan untuk mengendalikan hidupnya
sehari-hari yang dihadang oleh berbagai bentuk godaan. Kalau keyakinan pada
Tuhan demikian tegak dan teguhnya maka godaan demi godaan akan dapat diatasi
dengan baik dan benar karena manusia itu sering lupa maka setiap sasih Kesanga dalam rangka upacara melasti dan Tawur Kesanga umat Hindu diingatkan kembali agar selalu nyejer artinya menegakkan keyakinan dan bhakti pada Tuhan sebagai kekuatan dasar
dalam menghadapi dinamika kehidupan ini.
3. Tawur
Kesanga
Tawur Kesanga tergolong Upacara Bhuta Yadnya, yang
pelaksanaannya bertepatan dengan tilem
kesanga (cetra masa) yang dalam
kalender masehi diantara Maret dan April. Bhuta
Yadnya yang di dalam Manawa Dharma
Sastra disebut balir bhauto
merupakan persembahan terhadap bhuta kala.
Dalam ajaran Ketuhanan Agama Hindu di Bali Tuhan meliputi berbagai aspek yang
di dalam Jnana Siddhanta dinyatakan
bersifat (eka aneka swa laksana bhatara). Dalam konsep rwa bhineda Tuhan
meliputi dua sisi yang berlawanan namun berpasangan. Tuhan meliputi wujud ”rahu” yaitu wujud gelap yang disebut bhuta dan juga wujud ”ketu” yaitu terang yang disebut Dewa. Persembahan kepada Tuhan dalam wujud
gelap ”rahu” inilah disebut Bhuta Yadnya, yang tujuannya agar Tuhan
meninggalkan wujud-Nya yang gelap (bhuta)
menjadi wujud terang ( Dewa ), yang dikenal dengan istilah ” somia ”.
Penetapan waktu pelaksanaan Tawur Kesanga berorientasi pada alam.
Dilihat dari permukaan Bumi maka Matahari 2 kali dalam setahun berada di atas
Garis Katulistiwa yaitu Bulan Maret (sasih
ketiga) dan September (sasih kesanga).
Pada Tanggal 21 Maret
Matahari tepat berada di atas Katulistiwa garis tengah Bumi atau pada saat ini
sumbu Bumi membuat sudut 90 derajat tegak lurus terhadap poros bumi-Matahari
sehingga Kutub Utara-Selatan terletak sama jauh terhadap Matahari akibatnya
lamanya waktu siang dan malam adalah sama yaitu 12 jam (Wiswayana). Raja Kaniskha
dinobatkan menjadi raja pada Tahun 78 M kemudian Pada Tanggal 22 Maret 79
ditetapkan oleh Raja Kaniskha sebagai
Tahun Baru Saka atau Tanggal 1 Bulan
1 Tahun 1 Saka karena itu sehari siebelumnya
yaitu tanggal 21 Maret 79 terjadi peristiwa alam yang sangat penting yaitu
Gerhana Matahari dan Bulan ( Surya Candra
Graha ) atau dikenal dengan istilah Sadasitimuka,
dimana Matahari Bulan dan Bumi berada dalam satu garis lurus (Wiswayana-Sadasitimuka). Maka Pada Bulan
Maret oleh Raja Kaniskha dimulainya Tahun Baru Saka karena melihat kejadian
Alam yang sangat Penting yaitu kedudukan Matahari Bumi Bulan Tegak Lurus.
Jadi perhitungan penetapan Tahun Baru Saka sangat memperhatikan
posisi Bumi- Bulan-Matahari,dengan melihat Bulan-Matahari dari permukaan Bumi.
Makna yang terkandung dari penentuan sistem ini adalah bahwa umat Hindu sangat
memperhatikan benda-benda langit yang bersinar dengan berwawasan kesemestaan ”Cosmic of Oriented” atau dalam Hindu disebut Brahmanda. Secara Spiritual menunjukkan umat Hindu mempunyai
Orientasi pada Sinar (Divine) maka
muncul kata Dewa (Div = Sinar). Sehingga menyadari hakekat
dirinya adalah cahaya suci Tuhan yang Maha Kuasa dan selanjutnya ingin
membangun ”Divine Man and Divine Society”.
Matahari/ Surya adalah Benda bersinar dilangit yang diam atau sesuatu yang tak
berubah menjadi sumber sinar/cahaya/api dialam semesta sehingga dijadikan pusat
orientasi umat Hindu sebagai yang abadi/ Maha Cahaya lalu dijadikan Sthana Tuhan Yang Maha Kuasa kemudian Di
Bali disebut Hyang Siwa-Aditya.
Istilah Siwa-Aditya muncul karena
terjadi panunggalan antara Siwa dan Aditya hal ini terjadi pada saat Nyepi yaitu pada Tilem, sehari sebelum Hari Raya Nyepi,
Karena Surya berada pada saat Wiswayana
yaitu Surya tepat diatas Katulistiwa garis tengah Bumi. Pada saat Wiswayana adalah saat yang sangat tepat
untuk melaksanakan penyucian Bhuwana
dan Pemujaan pada Tuhan yang disebut sebagai Wiswa, Wiswa tiada lain
adalah Sebutan Hyang Siwa. Hal ini
disuratkan dalam Kakawin Sutasoma Karya Mpu Tantular sbb: ” Rwaneka
dhatu winuwus wara Budha Wiswa ” Dua jalan kebenaran yang utama yaitu Siwa dan Budha. Pelaksanaan Upacara pada saat Tilem berhubungan dengan tujuan memuja Hyang Siwa disebut pula Bhutapati, Bhuteswara .
Pelaksanaan Tawur Kesanga di Bali yang dilaksanakan
dengan Upacara Yadnya dari tingkat rumah tangga, lingkungan Banjar, Desa sampai
ke tingkat pusat.
Adapun tingkatan upacaranya yaitu sebagai berikut
:
1. Tingkat Provinsi
Menggunakan Upacara Tawur Agung.
Dilaksanakan dengan mengambil tempat pada Catus Pata pada saat tengai
tepet (sekitar Pk. 12.00 Wita)
2. Tingkat
Kabupaten/Kota
Menggunakan Upacara Tawur Agung.
Dilaksanakan dengan mengambil tempat pada Catus Pata pada saat kala
tepet (sekitar Pk. 12.00 Wita). Apabila Kabupaten/Kota belum mampu
melaksanakan Tawur Agung, disarankan
paling tidak menggunakan tingkat Yadnya
Panca Kelud atau sesuai dengan kemampuan.
3. Tingkat Kecamatan
Menggunakan Caru Panca Sanak
yaitu dengan 5 (lima) ekor ayam ditambah itik belang kalung serta kelengkapannya atau sesuai kemampuan.
Pelaksanaannya di Catus Pata pada
waktu siang, tajeg surya/kala tepet (sekitar Pk. 12.00 Wita)
4. Tingkat Desa
Menggunakan Caru Panca Sato
dengan 5 (lima) ekor ayam (Panca Warna)
serta kelengkapannya, atau sesuai dengan kemampuan. Pelaksanaannya di Catus Pata pada waktu
Sandi kala (sekitar Pk. 18.30
Wita)
5. Tingkat Banjar
Menggunakan Caru Eka Sato yaitu
ayam brumbun dengan olahan urip (urip bhuwana) beserta kelengkapannya atau sesuai dengan kemampuan. Pelaksanaannya di Catus Pata pada waktu Sandi
Kala ( sekitar Pk. 18.30 Wita
)
6. Tingkat
Rumah Tangga
a. Mrajan/Sanggah
menghaturkan banten sakasidan
(semampunya) dan dinatar depan Pelinggih
cukup menghaturkan segehan alit atanding.
b. Di jaba/lebuh
(depan pintu masuk halaman rumah) menghaturkan yadnya sebagai berikut :
- Segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam berumbun, disertai tetabuhan
tuak, arak, berem, air tawar, dihaturkan kepada Sang Bhuta Raja dan Sang Kala
Raja.
- Segehan nasi cacah 108
tanding dengan ulam jajeroan matah
dilengkapi dengan
segehan
agung serta tetabuhan tuak, arak,
berem, air putih dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Kala dan Sang
Kala Bala. Semua segehan tersebut
dihaturkan di bawah pada saat
sandi kala ( sekitar Pk.18.30 Wita )
c. Semua
anggota keluarga (kecuali yang belum maketus/giginya
tanggal mabya kala dan maprayascita
di halaman rumah masing-masing. Setelah itu dilanjutkan dengan Pangrupukan (mabuwu-buwu) berkeliling rumah masing-masing dengan sarana api
(obor atau perakpak), bunyi-bunyian (kulkul bambu dan pangeplogan dari pelapah kelapa), sapu lidi
7. Pelaksanaan Ngerupuk
Akhir pelaksanaan Tawur Kesanga terutama
tingkat desa, Banjar dan rumah tangga
adalah melaksanakan upacara mabuwu-buwu atau lebih dikenal dengan ngerupuk.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat ngerupuk antara lain :
1. Pengerupukan
agar dilaksanakan dengan tertib dan aman dengan nilai-nilai kesucian keagamaan
serta dipimpin Bendesa/Kelian Adat dan Kepala bersangkutan dan untuk rumah
tangga dipimpin oleh kepala keluarga.
2. Sarana
pokok ngerupuk berupa api, bawang
merah, mesui dan bunyi-bunyian.
B. Nyepi Pergantian Tahun Baru Saka,
Peringatan Sunya
Jika semua masyarakat dunia
selalu merayakan Tahun Baru Masehi secara meriah, penuh suka cita, Umat Hindu
juga merayakan pergantian Tahun Saka setiap
tahun akan tetapi dengan cara yang berbeda. Umat Hindu merayakan Tahun Baru Saka melalui sebuah rangkaian
upacara, yang tidak dimiliki oleh umat lain. Secara harfiah Nyepi berarti sepi, sepi berarti hening,
Umat Hindu setiap tahun setiap tahun diingatkan untuk mengheningkan diri dari
kesibukan-kesibukan untuk memenuhi keinginan yang sifatnya duniawi sehingga
hari Raya Nyepi dipakai sebagai
momentum bahwa apapun yang hidup di dunia ini setelah beraktifitas harus ada
jeda waktu istirahat.
Hari raya Nyepi datang setiap Setahun sekali yaitu pada Penanggal 1 Sasih Waisaka
(Kedasa), sehari setelah Tilem Caitra (kesanga) Hari ini dijadikan sebagai ”Tahun Baru Saka” ditandai dengan Brata Penyepian yang intinya adalah Pengendalian, pengekangan diri
menuju kesadaran atau keheningan (mengoreksi diri, mengontrol diri, menjaga
diri untuk mendapatkan perubahan yang tinggi menuju suatu kesadaran yaitu Parama Sunya).
Setelah melaksanakan Bhuta Yadnya pada Tilem Caitra selanjutnya umat Hindu melaksanakan Brata Penyepian yang intinya
melaksanakan Tapa, Brata, Yoga dan Samadi, pada Hari raya Nyepi umat Hindu dapat berharap memasuki
alam Sunya, alam yang sempurna Heneng dan Hening. Dang Hyang Nirartha
dalam dua Karyanya yaitu ” Dharma Sunya
dan Dharma Putus ” menekankan bahwa Sunya tersebut adalah kesadaran ketika
telah bersatu dengan Paramasiwa. Oleh
karena Paramasiwa dipuja sebagai Sang Hyang Sakala Atma, Jiwa dari segala
yang hidup. Paramasiwa juga digambarkan
sebagai ”Sang saksat pinakesti ning manah
aho” Beliau tak ubahnya sebagai isi pikiran suci dan ” Sang mawak
ring tuturku ” Beliau
yang berwujud dalam kesadaranku. Demikian Sang
Kawi-Wiku-Yogi mencurahkan segenap penguasaan kata dan kekuatan
imajinasinya dalam proses Yoga. Dalam
Lontar Jnana Sidhanta disuratkan
bahwa Sunya adalah alam dari Paramasiwa yang dalam keadaan tidak
aktif, alam inilah yang ingin dicapai oleh para Kawi-Wiku-Yogi yakni alam yang hening,
heneng dan cemerlang yang dilaksanakan setiap hari dengan membangun api
suci dalam dirinya dan menjadikan segala keinginannya menjadi korban dengan
tujuan untuk mencapai kesucian diri karena pada tingkat kesadaran yang tinggi
itu nantinya para Yogi mencapai alam Sunya, dialam itu pula Sang Yogi akan bersatu dengan Hyang Paramasiwa/Hyang Parama Sunya.
Hal ini apabila dikaitkan
dengan konsep penciptaan dunia yang terdapat dalam Sastra-sastra Hindu kiranya Nyepi merupakan peringatan terhadap
konsepsi Sunya atau Windu sebagai titik awal eksistensi
semesta dan juga merupakan sasaran bagi pecinta ajaran kelepasan dan Yoga.
Salah satu sumber yakni Rg. Weda X. 129. 3 menyebutkan sebagai berikut :
Tama asit tamasa gulhamagrepraketam,
Salilam sarwama idam,
Tucchyenabhvapihitam yadasit,
Tapasastan, ahimnajayataikam
Artinya :
Pada awalnya adalah kegelapan yang sangat
pekat,
Semua
yang ada ini tidak terbatas dantidak dapat dibedakan.
Yang
ada saat itu adalah kekosongan dan tanpa bentuk.
Dengan
tenaga panas yang sangat dahsyat terciptalah kesatuan yang kosong
Pada saat hari Raya Nyepi yang
diistirahatkan adalah nafsu-nafsu. Untuk melatih pengendalian nafsu itu maka
pada saat menjelang Nyepi ada
rangkaian upacara yang dapat secara tidak langsung bermakna dan melatih fisik
maupun mental menjadi stabil atau seimbang yang disebut jagadhita.
Tentang tata cara pelaksanaan pada Pinanggal
Pisan Sasih Kedasa ( Nyepi )
mengikuti Catur Brata Panyepian yaitu
: Amati Gni (tidak berapi-api/tidak menyalakan api), Amati
Karya (tidak boleh bekerja), Amati Lelungaan (tidak
bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak boleh memuaskan hawa
nafsu/kesenangan/hiburan). Tentang Brata
Panyepian tersebut dalam Sundarigama disebutkan
:
“
….Nyepi amatigni, tan wenang sajadma anyambut karya sakaluwirnia, agnigni
saparanaya tan wenang, kalingania wenang sang weruh ring tattwa angeLaraken
samadhi, Tapa, Brata, Yoga amatitis kasunyatan “
Artinya :
“ Hari
Nyepi, tidak benar semua orang melakukan pekerjaan, berapi-api karena mereka
yang tahu hakekat agama, melaksanakan Samadhi, Tapa, Yoga, memusatkan pikiran
menuju kasunyataan “.
Pelaksanaan
Nyepi dilakukan melalui Catur Brata
peNyepian untuk dapat Sepi, Sipeng
lahir dan batin, ke empat Bratha itu adalah :
1.
Amati
Geni :
Tidak
menyalakan Api secara lahir, sedangkan secara batin berusaha untuk menghentikan
dan meredakan nafsu yang mengarah pada hal-hal bersifat negatif seperti ; Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira dll.
2.
Amati
Karya :
Tidak
bekerja secara lahir, sedangkan secara bhatin
berusaha untuk menghentikan kegiatan jasmani dengan merenung dan
menghitung-hitung perbuatan di masa lampau, seberapa yang masih perlu di
perbaiki karena kesempatan yang diperoleh itu justru patut dipergunakan untuk
menolong diri dengan jalan berbuat baik.
3.
Amati
Lelungan :
Tidak pergi yaitu menyediakan waktu untuk memusatkan pikiran melaksanakan
tapa, brata, yoga, semadhi dan mawas
diri.
4.
Amati
Lelanguan :
Menekan/meredam hawa nafsu/kesenangan terhadap Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, dll. Selain itu berusaha
mengurangi kesenangan yang berlebihan mengarah pada kesombongan dan berakhir
dengan kesusahan itu karena hal tersebut bukan merupakan tujuan.
Umat Hindu melaksanakan Catur Brata
Panyepian selama 24. jam penuh dari jam 06.00 pada Pinanggal Pisan Sasih Kedasa sampai keesokan harinya jam 06.00
dilanjutkan dengan Ngembak Geni.
Adapun rangkaian Upacara Nyepi
tersebut antara lain seperti : Melasti,
Nyejer, Ngerupuk, Nyepi dan Ngembak Geni.
C. Ngembak
Geni
Sehari setelah Nyepi adalah Ngembak Geni, artinya menghentikan
kegiatan Bratha. Setelah memasuki
alam Sunya atau sepi mulailah kita memasuki tahun atau suasana
tahun baru dengan semangat yang baru. Kondisi batin setelah memasuki alam sunya tentunya cemerlang, dan teguh
dalam pelaksanaan dharma. Seperti
yang dilukiskan dalam Kekawin Arjuna
Wiwaha “Ambek Sang Paramartha wus
limpad sakeng sunyata“. Penghayatan terhadap sunya hendaknya menjadi inspirasi setiap gerak dan langkah setiap orang yang telah melaksanakan brata panyepian.
D. Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas Hari raya Nyepi adalah hari perayaan Tahun
Baru Saka yang dirayakan secara keagamaan, yakni dengan Melasti, Mekiyis atau Melis, Nyejer, mempersembahkan Tawur Kesanga serta pangerupukan, melaksanakan Catur
Berata Panyepian, melakukan Tapa,
Yoga dan Samadhi.
Brata Nyepi bila dilaksanakan dengan mantap mengantarkan seseorang
meningkatkan kualitas diri yang tentunya akan sangat handal dalam
mengantisipasi perkembangan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Agastia,
Ida Bagus Gede. 2008. Panca Balikrama
Padma Mandala dan Sad Kahyangan Denpasar : Dharmopadesa Pusat
------------------------------.
1997. Memahami Makna Siwa ratri. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra
Putra.
2005. Cudamani.Jilid I. Denpasar : Kanwil Dep. Agma Provinsi Bali (cetak ulang)
Proyek Pembinaan dan Pengembangan
Perpustakaan Desa. 1987. Sundarigama.
Tabanan : PHDI
Sura, I Gede. 1996. Weda. Jakarta : Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan
Budha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar