Pages

Minggu, 22 Maret 2020

Hari Raya Galungan


Hari Raya Galungan dan Kuningan
Oleh :
I Made Kartiada. SAg, M.Si
Penyuluh Agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kab. Badung

 

1.      Pengertian Umum  dan Mitologi Galungan dan Kuningan.

Hari raya Galungan adalah salah satu bentuk dari pelaksanaan dewa yajna. Hari raya Galungan adalah hari raya keagamaan yang berdasar pada wuku, yang datangnya setiap 210 hari atau enam bulan sekali dan jatuh pada hari Rebo/Budha Kliwon Dungulan. Kata Galungan berasal dari kata “Galunggang” yang berarti tertancapnya sebuah panah. Kata panah memiliki maksud “manah” atau  hati sanubari. Dengan demikian tertancapnya sebuah panah mengandung maksud tercapainya titik tujuan akhir atau menuju kecemerlangan atau dharma. Menurut Lontar Medang Kemulan disebutkan bahwa kata Galungan berasal dari kata “Ga” dan “Lungan”. “Gal” yang berarti tunggal dan “Lungan” berarti pergi yang dalam bahasa Bali disebut melampah atau berperilaku. Ini terkait dengan perginya Sri Aji Jayakesunu dari kerajaan untuk melakukan tapa di tengah hutan  dengan tidak dikawal oleh satu orang pun.
Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam Lontar ini disebutkan :
Punang act Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya”.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif lebih pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata. Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau

 “bisikan religius”dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
 Secara Mitologi Hari Raya Galungan juga diuraikan dalam lontar Usana Bali  yang menceritakan  bahwa perayaan Galungan adalah suatu peringatan atas kemenangan Bhatara Indra bersama Bhatara Wisnu dalam pertempurannya melawan KI Mayadenawa, dengan kemenangan dipihak Bhatara Indra bersama Bhatara Wisnu. Untuk mengenang kematian Ki Mayadenawa akibat peperangan tersebut, maka pada hari itu diperingatilah dengan perayaan hari raya Galungan. Dalam hal ini kata Galungan berasal dari urat kata “Gal” dan “Gal” berasal dari kata penggal atau punggel (bahasa Bali). Kata “Lung  yang berarti patah atau pisah. Kata “Lungan” (kata benda) yang berarti patahan-patahan. Kemudian hari ini populer disebut denga hari raya Galungan yang hahekatnya bertujuan untuk memperingati kematian Ki Mayadenawa di Tukad Yeh Petanu (sungai Yeh Petanu) di daerah pejeng sekarang. Ki Mayadenawa bisa dibunuh setelah Bhatara Indra berhasil memenggal dan Bhatara Wisnu berhasil memotong-motong tubuh Ki Mayadenawa. Kemenangan ini diperngati dalam hari raya Galungan yang melambangkan hari kemenangan dharma melawan adharma.
Kuningan berasal dari kata  “Kauningan”. Hal itu didapat ketika masyarakat memenangkan musuh yang ada dalam tubuh yang disebut dengan dasa indria. Kuningan intinya memuja Tuhan dalam keheningan. Dalam keheningan itu diharapkan muncul div atau sinar suci Tuhan. Selain panah, dalam Kuningan juga dipasang endongan yang merupakan simbol perbekelan (logistik) dalam perang. Sedangkan dalam konteks keberagamaan, endongan tersebut bermakna bekal dalam mengarungi kehidupan seterusnya. Bekal itu tiada lain adalah karma atau hasil dari perbuatan, apakah ia Subha Karma (perbuatan baik) atau Asubha Karma (perbuatan buruk).jadi hanya karma diri sendirilah sebagai bekal untuk menuntun menuju perjalanan selanjutnya. Selain endongan dalam Kuningan juga dipasang tamiang yang merupakan perlambang perisai diri. Untuk menjaga serangan musuh maka diperlukan perisai. Yang dimaksud adalah pengendalian diri dan pelajaran agama yang dianggap sebagai benteng terhadap diri.  

2. Aktulisasi Nilai Hari Raya Galungan Dan Kuningan Dalam Kehidupan.
Galungan merupakan hari kemenangan Dharma melawan Adharma, memiliki tujuan agar umat mampu anyeking jnana, yang artinya umat mampu mengendalikan pikiran. Dengan pikiran yang galang apadang (pikiran yang cerah) umat akan mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Dengan demikian, sifat-sifat Adharma dapat dijauhkan dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu dengan memusatkan pikiran diharapkan umat dapat menjiwai segala perkataan (wacika) dan perbuatan (kayika) dan perbuatan (kayika) menjadi sudha nirmala.
Dalam memaknai Galungan umat mestinya bertanya dalam hati apakah sudah mengalami kemenangan dalam mengarungi hidup. Untuk mengetahui hal itu jawabannya ada pada diri sendiri. Oleh karena itu melalui perayaan Galungan ini kita dapat mengevaluasi diri dan intsrospeksi diri. Apakah sudah mampu menegakkan dharma?, pertanyaan itu dapat ditanyakan pada diri sendiri. Karena itu hari raya Galungan sangat tepat dijadikan tonggak untuk instrospeksi. Dengan demikian dapat diketahui apakah selama ini kita sudah menang (jaya) dalam bertempur melawan Adharma?. Hal itu patut direnungkan sebagai pengejawantahan pelaksanaan hari raya Galungan sebagai salah satu wujud kemenangan Dharma melawan Adharma. Disamping itu lewat perayaan hari raya Galungan umat diharapkan lebih menumbuhkan rasa kesatuan dan persatuan diantara intern umat dan sesama umat, sebagai praktik dari nilai Penyajaan Galungan  yaitu “Pengatayawaning Sang ngamong yoga semadhi” yang artinya membuktikan kesungguhan hati orang yang melaksanakan yoga semadhi di dalam menghadapi godaan Sang Kala Tiga. Sang Kala itu tidak jauh dari diri manusia itu sendiri. Dalam diri manusia terdapat dua sifat yaitu raksasa dan dewa. Dalam mencermati kedua sifat inilah memerlukan wiweka demi keharmonisan hidup. Sifat-sifat dewalah yang mesti dikedepankan dalam mengarungi kehidupan ini, sehingga kaharmonisan hidup tercapai.   
Hari Raya Galungan pada hakekatnya sebagai suatu peringatan untuk mengingatkan umat manusia agar senantiasa menguatkan jnana-nya sebagai kekuatan citta untuk menghadapi gelapnya awidya kekuatan negatif dari unsur klesa. Dalam diri manusia menurut Wrehaspati Tattwa ada dua arah yang berlawanan dalam diri manusia yaitu unsur citta sebagai alam pikiran dengan kesadaran budhi yang berasal dari Atman. Sedangkan Klesa adalah unsur kegelapan yang menjauhi kebenaran datang dari Pradhana. Idealnya manusia akan dapat meraih kehidupan yang bahagia dan sejahtera apabila mampu memposisikan kesucian citta dengan jnana-nya di atas kekuatan klesa dengan awidya-nya. Jnana itu adalah unsur citta yang ada dalam diri setiap orang sebagai kekuatan suci untuk mengarahkan perilaku mulia mengarungi hidup di dunia ini. Klesa akan menjadi positif apabila ia berada di bawah kendali jnana citta. Ibarat kuda yang sehat dan kuat akan menjadi kekuatan untuk menarik kereta mencapai tujuan apabila ada di bawah kendalin sais kereta dengan lis sebagai tali kekangnya.
            Terjadinya berbagai gejolak zaman dewasa ini karena manusia hidup terjebak oleh kehidupan yang hedonis. Hidup nikmat tentunya boleh-boleh saja dan juga sah-sah saja. Yang penting jangan terlena oleh kenikmatan duniawi itu. Kenikmatan duniawi itu cepat atau lambat akan berlalu sejalan dengan proses kehidupan manusia. Tak ada manusia yang mampu menghindari siklus lahir, hidup dan mati. Hari raya Galungan mengingatkan kita agar dengan jiwa yang cerah mengikuti siklus lahir, hidup dan mati itu. Jiwa yang cerah dalam perayaan Galungan itu dalam lontar Sundarigama memuat ajaran bahwa dengan “patitis ikang jnana sandhi galang apadang maryakena byaparaning idep” yang dapat diartikan ketika hari raya Galungan dengan sarana bhakti yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi umat Hindu diajarakan untuk memusatkan pikiran (patitis ikang jnana sandhi) kepada-Nya, agar mendapat galang apadang (pencerahan pikiran) sinar kesucian dan jalan kebenaran untuk menapak hidup dengan jalan kedamaian. Melalui pemusatan pikiran yang benar, ketenangan dan kedamaian akan dapat diraih. Orang yang demikian disebut mampu menghapus noda-noda pikiran (maryakena byaparaning idep), maka lenyaplah segala pikiran yang berkaitan dengan derita manusia sehingga dengan demikian  akan muncul kesucian dan kebaikan manusia dalam perilakunya.  Jalan nyata untuk menuju kondisi itu tiada lain dengan mengubah kebiasaan berkata fitnah ke kebiasaan berkata kasih, mulanya sering berbohong berubah menjadi jujur. Mabuk-mabukan, berjudi, mencuri dan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya mestinya dapat dihentikan dan dirubah menjadi perbuatan positif dan bermanfaat. Setelah seseorang merayakan, memahami dan melaksanakan makna Galungan dengan tulus diharapkan perilakunya berubah menjadi penuh kasih sayang.
            Walaupun manusia ingin mengubah perilakunya ke arah lebih baik namun masih banyak yang kebingungan mencari jalan menuju kedamaian.Sebenarnya kebingungan itu dapat diatasi bila manusia mampu memaknai Galungan sebagai media spiritual yang senantiasa mengandung nilai penyadaran dan kemenangan manusia dalam pergulatan hidup untuk mengendalikan keinginan di dunia. Sesungguhnya, kemenangan dan pencerahan hidup dapat diraih bila seseorang telah menjalankan dharma (kebenaran) itu sendiri.
            Sementara dalam hari raya Kuningan berbagai simbol perang mewarnai perayaan tersebut seperti sampian tamiang. Simbol itu dimaknai sebagai pertahanan diri yang ampuh adalah moral dan etika serta ilmu pengetahuan. Dengan memiliki pertahanan seperti itu umat diharapkan mampu menghadapi kegelapan, kebodohan dan musuh-musuh yang ada dalam diri, maupun tekanan eksternal yang ingin merusak nilai kesucian, umat diharapkan dapat mencapai jagathita. Demikian juga dalam hari raya Kuningan bentuk ekspresi budaya masyarakat didominasi warna kuning. Perayaan Kuningan mengambil waktu pagi hari, ketika matahari mulai terbit. Memang pancaran kesucian atau situasi keheningan didapat pada waktu tersebut. Pada saat itu dipasang hiasan ter atau panah (senjata) panah itu sesungguhnya simbol ketajaman pikiran (manah) atau tingkat kualitas pikiran. Kata kunci dalam kuningan adalah suddha jnana atau kesucian pikiran. Orang yang memiliki tingkat suddha jnana akan menemukan siddha (keberhasilan) yang disebut siddhi. Dengan demikian umat tak akan memiliki berantha jnana atau pikiran kotor atau diselimuti kebingungan.  Kuningan merupakan perayaan kemenangan sebagai anugerah Tuhan. Kemenangan itu dilukiskan sebagai keadaan yang aman dan sejahtera (raksanam daanam).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar