1. Latar
belakang
Agama Hindu di Bali dalam
pelaksanaan aktivitas keagamaan tidak pernah jauh dari simbol-simbol sebagai
atribut budaya yang mendampingi berbagai ritual di Bali. Aktivitas keagamaan di
Bali lebih didominasi oleh upacara agama. Sedangkan dalam setiap upacara agama
digunakan berbagai simbol jejahitan
dipadu dengan bunga, buah, air, dupa bahkan menggunakan sarana binatang sebagai
wujud persembahan maupun kurban untuk mencapai keharmonisan disamping sebagai
utang (rna).
Berbagai bentuk jejahitan yang dirangkai dengan bunga,
buah, air, dupa bahkan menggunakan sarana binatang disebut dengan Banten. Salah satu banten yang paling
kerap dipergunakan dalam setiap kegitan upacara keagamaan Hindu di Bali adalah Banten Pejati.
Wiana (2001) menyatakan banten
dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Weda sabda Tuhan itu
disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Isi Weda tersebut disampaikan
pula dalam bahasa mona artinya diam namun banyak menyampaikan informasi
tentang keberadaan Weda. Bahasa mona tersebut menurut Wiana adalah banten.
Banten dalam Lontar Yajña Prakerti menurut Wiana menyatakan sahananing
bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning ida Bhattara, pinaka anda
bhuwana. Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang
oleh banten yaitu pinaka ragan tuwi, artinya lambang dirimu atau
lambang diri kita, pinaka warna rupaning ida Battara lambang kemahakuasaan
Tuhan dan pinaka anda bhuwana artinya lambang alam semesta (Bhuwana
Agung). Kemudian menurut Surayin (2005) bebanten
merupakan sarana dari sebuah yajña atau sering disebut dengan upakara.
Bebantenan tersebut dalam
penggunaanya dapat disesuaikan dengan kemampuan orang yang melaksanakan yajña
dan besar kecilnya yang dilakukan sehingga ada tingkat-tingkatannya yaitu : Nista,
Madya dan Utama.
Sedangkan menurut Sri
Arwati (2000) banten juga diartikan
sebagai wali. Kata wali berarti wakil. Artinya banten
itu dalam suatu upacara dipergunakan sebagai wakil untuk berhubungan
dengan yang dipuja atau dimuliakan. Selain itu pula kata wali berarti
kembali. Dalam pengertian ini dimaksudkan kembali dipersembahkan, yang pada
mulanya sarana banten itu adalah berasal atau bersumber dari ciptaan Hyang
Widhi Wasa. Lebih lanjut mengenai kata Pejati Sri Arwati
menambahkan, kata pejati berasal dari kata Jati mendapat awalan pe
menjadi pejati. Kata ini adalah kata dalam bahasa Bali. Jati artinya sungguh-sungguh,
benar-benar. Jadi Banten Pejati adalah sekelompok banten yang
dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi
Wasa/manifestasi-Nya, akan melaksanakan upacara dan mohon
persaksian, dengan tujuan memperoleh keselamatan.
Dari uraian latar belakang
di atas yang penting untuk ditandaskan dalam makalah ini adalah menyangkut
pemaknaan masyarakat Bali terhadap keberadaan simbol banten pejati. Bagaimana sesungguhnya masyarakat Bali memaknai banten pejati akan ditekankan dalam
makalah yang sangat sederhana ini. Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan dan
memberikan informasi terhadap makna-makna simbol banten pejati kepada pembaca maupun masyarakt Bali secara umum.
Dalam setiap simbol sudah
tentu memiliki makna mendalam, tak terkecuali terhadap simbol-simbol
persembahan seperti banten pejati. Menurut Maman (2005:135) berpendapat manusia pada
intinya senang dengan simbol-simbol. Bila disuatu tempat tumbuh dan berkembang
komunitas, pada saat yang sama akan tumbuh simbol-simbol yang dipahami bersama.
Simbol-simbol diwujudkan dalam bentuk bahasa, budaya, seni dan lain-lain. Ritus
keagamaan dalam perspektif ini dipandang
sebagai simbol yang menjadi ciri khas sebuah komunitas. Struktur dan realitas
sosial terbentuk akibat adanya interaksi simbol. Cara-cara keberagamaan
seseorang terbentuk akibat interaksi simbol. Sedangkan menurut
Poerwadarminta (Redig, 2009) menyatakan simbol adalah semacam tanda, lukisan,
perkataan, lencana dan sebagainya. Yang mengandung maksud tertentu. Redig
menambahkan, (1) simbol berakar pada akal manusia (imanen) tetapi merujuk
kepada yang transenden. (2) bagian dari dunia makna manusia berfungsi sebagai
designer, (3) memiliki nilai fungsional, (4) ada kaitannya dengan proses
belajar. Sedangkan (Spradly (1997) dan Geezrt (1992) berpendapat dalam konteks
budaya semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Sehingga
makna hanya dapat disimpan di dalam simbol (Redig, 2009). Lebih lanjut Redig
mengulas mengenai pengertian makna yang merupakan (1) sesuatu yang diberikan
arti tertentu orang tertentu, (2) tidak memiliki arti tunggal, (3) ada dalam
diri manusia, (4) tidak terbatas jumlahnya, (5) dikomunikasikan sebagian.
Bila dikaitkan dengan
makna simbol banten pejati bagi
masyarakat Hindu di Bali sudah tentu memiliki makna mendalam, artinya buth
penelusuran dan pengkajian dalam memahami fenomena simbol banten pejati untuk mengungkap apa sesungguhnya yang membuat
masyarakat menampilkan banten pejati
dalam setiap upacara keagamannya.
2. Pembahasan
Dalam filsafat Samkhya
disebutkan bahwa dunia terdiri dari dua unsur yakni purusa dan prakerti.
Purusa merupakan jiwa alam semesta, sedangkan prakerti merupakan
unsur jasmani yang terdiri dari unsur Panca Maha Bhūta dan Panca Tan
Matra. Konsepsi ini pula yang melandasi dalam pembuatan Banten
khususnya dilihat dari unsur-unsur banten, termasuk Banten Pejati.
Mengingat banten
merupakan perwujudan dari manusia, maka dengan demikian banten memiliki
makna sebagai simbol penyerahan diri manusia secara totalitas, yang didasari
ketulusan hati dan niat yang suci. Hal ini tercermin dari tatuasannya
(potongannya), yang menunjukkan keindahan seni yang ditampilkan, menyimbolkan
perasaan cinta kasih dan bakti yang demikian agungnya sehingga melahirkan
getaran hati dan pikiran untuk mempersembahkan yang terbaik dan termulia
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa sebagai pemberi
anugrah berupa kesejukan kepada sang pemuja. Dunia ini tercipta karena adanya
unsur purusa dan prakerti.
Prakerti sebagai unsur jasmani terdiri dari
unsur Panca Maha Bhūta yakni dari unsur apah, teja, pertiwi,
bayu dan akasa. Kelima inilah yang membentuk unsur-unsur banten
terutama untuk banten hulu (lingga
Sanghyang Widhi Wasa). Dari kelima unsur inilah kemudian berkembang menjadi
berbagai bentuk unsur. Unsur kehidupan dalam air (apah) ada dua
jenisnya, yakni air tawar dan air laut. Mahkluk hidup di air tawar misalnya
ikan nyalian, lele, yuyu (kepiting), udang, kakul (keong)
dan sebagainya, sedangkan yang hidup di air laut ikan teri (gerang),
teripang, ikan pari (be pai). Unsur kehidupan dalam tanah (pertiwi),
misalnya kacang-kacangan dan ini termasuk jenis pala gantung, sedangkan
umbi-umbian tergolong jenis pala bungkah. Kemudian yang mewakili unsur akasa,
adalah binatang buruan, sedangkan yang mewakili unsur teja, adalah asap, dupa
dan lain-lain. Semua disusun demikian indahnya yang samar-samar menggambar Manu
atau manusia. Dalam memilih unsur-unsur tersebut sebagai bahan banten
tidak terlepas dari prinsip nama dan rupa.
Banten dalam Lontar Yajña Prakrti
(dalam, Sri Arwati:5) memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam
lontar tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta
Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar
ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh Banten yaitu
: "Pinaka Raganta Tuwi" artinya Banten itu merupakan
perwujudan dari kita sebagai manusia. "Pinaka Warna Rupaning Ida
Bhatara" artinya Banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa)
Ida Hyang Widhi. Dan "Pinaka Andha Bhuvana" artinya Banten
merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuwana Agung.
Berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula
Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma
Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara,
atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang
Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan
keberadan banten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha
ini adalah banten yang memiliki fungsi sebagai suguhan seperti: Banten
Ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan Banten yang
berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan
dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma
Sarira seperti Banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut
dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau
pemberi jiwa seperti Banten Daksina,
Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman. Banten Ajuman, Peras dan Daksina adalah unsur-unsur yang membentu
Banten Pejati.
Lebih lanjut Wiana (2002:2) Banten sebagai Warna
Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendalaman Sraddha
terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat Nirguna, Suksma,
Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk diketahui
lebih-lebih untuk dipahami. Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam
konteks bhakti maka Beliau yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam
wujud Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah Banten.
Adapun Banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi
adalah banten-banten yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara
seperti: Daksina (linggih), Peras, dan sebagainya.
Banten sebagai Anda Bhuwana dapat dimaknai bahwa banten
tersebut merupakan replika dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan
agar umat manusia mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa
Tuhan ini tidak hanya berstana pada Bhuwana Alit, Beliau juga berstana
pada Bhuwana Agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam
pembuatan Banten itu dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan
dari alam ini.
v
Makna dalam unsur-unsur Banten Pejati
Banten Pejati memiliki unsur-unsur banten lain sebagai
pendukungnya, di bawah ini akan diuraikan beberapa makna unsur-unsur dalam Banten
Pejati.
a)
Daksina
Sarana
perlengkapan daksina yang begitu lengkapnya sehingga dianggap cukup
untuk mewakili isi seluruh alam semesta yang ada. Maka dengan demikian daksina
diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol Hyang Tunggal atau
Hyang Guru sebagai manifestasi dari Dewa Siwa sebagai penguasa
alam semesta ini.
Daksina dipergunakan sebagai upasaksi,
upasaksi terdiri dari dua suku kata, yaitu upa dan saksi, upa
dapat diartikan sebagai perantara dan saksi dapat berarti mengetahui.
Jadi upasaksi dapat mengandung pengertian sebagai sarana untuk diketahui
atau mempermaklumkan, dalam hal ini kepada Hyang Widhi dengan
manifestasiNya. Tempat untuk menghaturkan banten upasaksi biasanya
dibuat khusus yang diberi nama Sanggar Upasaksi, Sanggar Surya atau bisa
juga Sanggar Tawang tergantung besar kecilnya upacara yang dilaksanakan.
Sanggar Tawang bisa juga disebut Sanggar Agung biasanya dibentuk
bangunan temporer dari bambu petung atau batang pinang yang sudah dikupas
terlebih dahulu. Sebagai upasaksi, daksina
dijadikan sthana Hyang Widhi, apabila Banten Daksina tersebut
diletakkan pada Sanggar Surya atau Sanggar Tawang. Mengingat daksina
sebagai pelengkap banten-banten lainnya seperti Banten Pejati,
sehingga peran daksina menjadi peran utama dalam banten tersebut. Selain
alasan di atas, kedudukan daksina yang selalu menyertai banten-banten
yang lain adalah karena unsur yang terdapat dalam daksina sangat
lengkap, selain itu daksina merupakan kekuatan atau saktinya suatu Yajna.
Dengan kata lain suatu upakara Yajna
akan menjadi sempurna apabila ada daksinanya.
b)
Peras
Kata peras
menurut Sri Arwati (1992:21) berarti sah atau resmi, penggunaan banten
peras bertujuan untuk men-“sah”-kan ataau me-resmi-kan suatu upacara yang diselenggarakan
secara lahir dan bathin. Secara lahir Banten Peras sudah diwujudkan sebagai sarana, dan secara batin dimohonkan
pada persembahannya.
Dalam lontar Yajña Prakerti, peras dinyatakan lambang Hyang Triguna Sakti. Di dalam
penyelenggaraan “pemralinan banten”
disebutkan bahwa peras “mulihing hati” maksudnya peras kembali ke hati, adalah merupakan
suatu sugesti bagi pikiran telah berhasil melaksanakan suatu keinginan serta
mencapai tujuan seperti yang diharapkan.
c)
Ajuman
Ajuman terdiri dari; (1)Taledan, adalah lambang dasar atau pondasi artinya setiap kegiatan
sudah seharusnya memiliki alas atau dasar yang kokoh, kuat apalgi menyangkut
pelaksanaan yajña; (2) Ceper memiliki makna catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga). Keempat jalan di atas
adalah satu kesatuan atau sebuah totalitas, tidak dapat berdiri sendiri.
Begitupula dengan pelaksanaan yajna adalah suatu totalitas pemahaman antara
kerja, bhakti, pengetahuan dan kontemplasi (pemusatan pikiran). (3) amas bermakna cakra atau perputaran hidup
atau windu (simbol kekosongan yang
murni/ananda). (4) Tumpeng adalah kristalisasi dari
duniawi menuju rohani, mengapa telompokan/tumpeng? Sebab, tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur
materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada puncak
kesadaran Tuhan. (5) Sampiyan
Kepet-kepetan bermakna kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi,
waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan
Dharma. Sampiyan Kepet-kepetan pula memiliki
makna bahwa dalam memuja Hyang Widhi
manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di hadapannyaNya, dan jangan
banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi
akan turun ketika semua dilaksanakan dengan tulus ikhlas.
d)
Tipat
Kelanan
Tipat Kelanan,
bermakna dari Sad Ripu yang telah
dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa
meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan
hidup akan meyelimuti manusia. Sad Ripu
disimbolkan dengan tipat yang berjumlah 6 atau yang disebut dengan akelan.
Sad Ripu adalah enam musuh yang
terdapat pada diri manusia. Enam musuh tersebut semestinya ditekan dan
dikendalikan oleh manusia. Keenam musuh tersebut menurut Ardhana Wisnu
(2002:27) adalah : Kama (nafsu), Lobha
(rakus), Krodha (marah), Moha (bingung), Mada (mabuk), Matsarya
(iri hati).
3. Simpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai Simbol dan makna Banten Pejati dapat di simpulkan
sebagai berikut :
a)
Banten
Pejati merupakan simbol alam semesta yang
diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
b)
Banten
Pejati bermakna bhakti, mengandung
makna bahwa segala yang ada di alam semesta serta isinya adalah ciptaan Hyang
Widhi dan ciptaan Beliau itu dipersembahkan kembali oleh manusia kepada
Beliau sebagai pernyataan terima kasih.
c)
Banten
Pejati bermakna
sebagai perwujudan bahasa manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Agus,
Bustanuddin. 2006. Agama Dalam Kehidupan
Manusia Pengantar Antropologi Agama. Jakarta : Raja
Grafindo Perkasa.
Ardhana Wisnu, I Gede. 2002. Musuh-Musuh
dalam Diri Manusia. Denpasar : Manikgeni.
Maman, Kh, Dkk. 2006. Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa.
Mas Putra, I Gst. Ag. 1996. Upakara – Yadnya. Bali : Proyek
Peningkatan Prasarana dan Sarana Kehidupan beragama tersebar di 9 (sembilan)
Kabupaten Daerah Tingkat II.
Pudja, G. 2005. Bhagavad Gita. Surabaya : Paramita
Redig. I Wayan.
2009. Bahan Kuliah Teori Kebudayaan. Denpasar : Universitas Hindu
Indonesia.
Surayin, Ida Ayu Putu. 2005. Seri II Upakara Yadnya
Bahan dan Bentuk Sesajen. Surabaya : Paramita.
Surayin, Ida Ayu Putu. 2005. Seri I Upakara Yadnya
Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-Upacara Yajna. Surabaya : Paramita.
Sri Arwati, Ni Made. 2000. Banten Pejati. Denpasar
: Upada Sastra.
Tim Penyusun. 1996. Panca Yadnya. Pemerintah
daerah Tingkat I Bali : Denpasar.
Wiana, I Ketut. 2001. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama
Hindu. Surabaya :
Paramita.
. 2000. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Surabaya :
Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar