Pages

Kamis, 28 Juni 2018

Simbol dan Makna Banten Pejati




1.    Latar belakang
Agama Hindu di Bali dalam pelaksanaan aktivitas keagamaan tidak pernah jauh dari simbol-simbol sebagai atribut budaya yang mendampingi berbagai ritual di Bali. Aktivitas keagamaan di Bali lebih didominasi oleh upacara agama. Sedangkan dalam setiap upacara agama digunakan berbagai simbol jejahitan dipadu dengan bunga, buah, air, dupa bahkan menggunakan sarana binatang sebagai wujud persembahan maupun kurban untuk mencapai keharmonisan disamping sebagai utang (rna).
Berbagai bentuk jejahitan yang dirangkai dengan bunga, buah, air, dupa bahkan menggunakan sarana binatang disebut dengan Banten. Salah satu banten yang paling kerap dipergunakan dalam setiap kegitan upacara keagamaan Hindu di Bali adalah Banten Pejati.
Wiana (2001) menyatakan banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Weda sabda Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Isi Weda tersebut disampaikan pula dalam bahasa mona artinya diam namun banyak menyampaikan informasi tentang keberadaan Weda. Bahasa mona tersebut menurut Wiana adalah banten. Banten dalam Lontar Yajña Prakerti menurut Wiana menyatakan sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning ida Bhattara, pinaka anda bhuwana. Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu pinaka ragan tuwi, artinya lambang dirimu atau lambang diri kita, pinaka warna rupaning ida Battara lambang kemahakuasaan Tuhan dan pinaka anda bhuwana artinya lambang alam semesta (Bhuwana Agung). Kemudian menurut Surayin (2005) bebanten merupakan sarana dari sebuah yajña atau sering disebut dengan upakara. Bebantenan tersebut dalam penggunaanya dapat disesuaikan dengan kemampuan orang yang melaksanakan yajña dan besar kecilnya yang dilakukan sehingga ada tingkat-tingkatannya yaitu : Nista, Madya dan Utama.
Sedangkan menurut Sri Arwati (2000) banten juga diartikan  sebagai wali. Kata wali berarti wakil. Artinya banten itu dalam suatu upacara dipergunakan sebagai wakil untuk berhubungan dengan yang dipuja atau dimuliakan. Selain itu pula kata wali berarti kembali. Dalam pengertian ini dimaksudkan kembali dipersembahkan, yang pada mulanya sarana banten itu adalah berasal atau bersumber dari ciptaan Hyang Widhi Wasa. Lebih lanjut mengenai kata Pejati Sri Arwati menambahkan, kata pejati berasal dari kata Jati mendapat awalan pe menjadi pejati. Kata ini adalah kata dalam bahasa Bali. Jati artinya sungguh-sungguh, benar-benar. Jadi Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi Wasa/manifestasi-Nya, akan melaksanakan upacara dan mohon persaksian, dengan tujuan memperoleh keselamatan.
Dari uraian latar belakang di atas yang penting untuk ditandaskan dalam makalah ini adalah menyangkut pemaknaan masyarakat Bali terhadap keberadaan simbol banten pejati. Bagaimana sesungguhnya masyarakat Bali memaknai banten pejati akan ditekankan dalam makalah yang sangat sederhana ini. Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan dan memberikan informasi terhadap makna-makna simbol banten pejati kepada pembaca maupun masyarakt Bali secara umum.
Dalam setiap simbol sudah tentu memiliki makna mendalam, tak terkecuali terhadap simbol-simbol persembahan seperti banten pejati. Menurut Maman (2005:135) berpendapat manusia pada intinya senang dengan simbol-simbol. Bila disuatu tempat tumbuh dan berkembang komunitas, pada saat yang sama akan tumbuh simbol-simbol yang dipahami bersama. Simbol-simbol diwujudkan dalam bentuk bahasa, budaya, seni dan lain-lain. Ritus keagamaan dalam perspektif  ini dipandang sebagai simbol yang menjadi ciri khas sebuah komunitas. Struktur dan realitas sosial terbentuk akibat adanya interaksi simbol. Cara-cara keberagamaan seseorang terbentuk akibat interaksi simbol. Sedangkan menurut Poerwadarminta (Redig, 2009) menyatakan simbol adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya. Yang mengandung maksud tertentu. Redig menambahkan, (1) simbol berakar pada akal manusia (imanen) tetapi merujuk kepada yang transenden. (2) bagian dari dunia makna manusia berfungsi sebagai designer, (3) memiliki nilai fungsional, (4) ada kaitannya dengan proses belajar. Sedangkan (Spradly (1997) dan Geezrt (1992) berpendapat dalam konteks budaya semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Sehingga makna hanya dapat disimpan di dalam simbol (Redig, 2009). Lebih lanjut Redig mengulas mengenai pengertian makna yang merupakan (1) sesuatu yang diberikan arti tertentu orang tertentu, (2) tidak memiliki arti tunggal, (3) ada dalam diri manusia, (4) tidak terbatas jumlahnya, (5) dikomunikasikan sebagian.
Bila dikaitkan dengan makna simbol banten pejati bagi masyarakat Hindu di Bali sudah tentu memiliki makna mendalam, artinya buth penelusuran dan pengkajian dalam memahami fenomena simbol banten pejati untuk mengungkap apa sesungguhnya yang membuat masyarakat menampilkan banten pejati dalam setiap upacara keagamannya.

2.    Pembahasan
Dalam filsafat Samkhya disebutkan bahwa dunia terdiri dari dua unsur yakni purusa dan prakerti. Purusa merupakan jiwa alam semesta, sedangkan prakerti merupakan unsur jasmani yang terdiri dari unsur Panca Maha Bhūta dan Panca Tan Matra. Konsepsi ini pula yang melandasi dalam pembuatan Banten khususnya dilihat dari unsur-unsur banten, termasuk Banten Pejati.
Mengingat banten merupakan perwujudan dari manusia, maka dengan demikian banten memiliki makna sebagai simbol penyerahan diri manusia secara totalitas, yang didasari ketulusan hati dan niat yang suci. Hal ini tercermin dari tatuasannya (potongannya), yang menunjukkan keindahan seni yang ditampilkan, menyimbolkan perasaan cinta kasih dan bakti yang demikian agungnya sehingga melahirkan getaran hati dan pikiran untuk mempersembahkan yang terbaik dan termulia kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa sebagai pemberi anugrah berupa kesejukan kepada sang pemuja. Dunia ini tercipta karena adanya unsur purusa dan prakerti.
Prakerti sebagai unsur jasmani terdiri dari unsur Panca Maha Bhūta yakni dari unsur apah, teja, pertiwi, bayu dan akasa. Kelima inilah yang membentuk unsur-unsur banten terutama untuk banten hulu (lingga Sanghyang Widhi Wasa). Dari kelima unsur inilah kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk unsur. Unsur kehidupan dalam air (apah) ada dua jenisnya, yakni air tawar dan air laut. Mahkluk hidup di air tawar misalnya ikan nyalian, lele, yuyu (kepiting), udang, kakul (keong) dan sebagainya, sedangkan yang hidup di air laut ikan teri (gerang), teripang, ikan pari (be pai). Unsur kehidupan dalam tanah (pertiwi), misalnya kacang-kacangan dan ini termasuk jenis pala gantung, sedangkan umbi-umbian tergolong jenis pala bungkah. Kemudian yang mewakili unsur akasa, adalah binatang buruan, sedangkan yang mewakili unsur teja, adalah asap, dupa dan lain-lain. Semua disusun demikian indahnya yang samar-samar menggambar Manu atau manusia. Dalam memilih unsur-unsur tersebut sebagai bahan banten tidak terlepas dari prinsip nama dan rupa.
Banten dalam Lontar Yajña Prakrti (dalam, Sri Arwati:5) memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh Banten yaitu : "Pinaka Raganta Tuwi" artinya Banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia. "Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara" artinya Banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan "Pinaka Andha Bhuvana" artinya Banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuwana Agung.
Berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan banten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang memiliki fungsi sebagai suguhan seperti: Banten Ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan Banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti Banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman. Banten Ajuman, Peras dan Daksina adalah unsur-unsur yang membentu Banten Pejati.
Lebih lanjut Wiana (2002:2) Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun Banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina (linggih), Peras, dan sebagainya.
Banten sebagai Anda Bhuwana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replika dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya berstana pada Bhuwana Alit, Beliau juga berstana pada Bhuwana Agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan Banten itu dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini.

v  Makna dalam unsur-unsur Banten Pejati
Banten Pejati memiliki unsur-unsur banten lain sebagai pendukungnya, di bawah ini akan diuraikan beberapa makna unsur-unsur dalam Banten Pejati.
a)    Daksina
Sarana perlengkapan daksina yang begitu lengkapnya sehingga dianggap cukup untuk mewakili isi seluruh alam semesta yang ada. Maka dengan demikian daksina diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol Hyang Tunggal atau Hyang Guru sebagai manifestasi dari Dewa Siwa sebagai penguasa alam semesta ini.
Daksina dipergunakan sebagai upasaksi, upasaksi terdiri dari dua suku kata, yaitu upa dan saksi, upa dapat diartikan sebagai perantara dan saksi dapat berarti mengetahui. Jadi upasaksi dapat mengandung pengertian sebagai sarana untuk diketahui atau mempermaklumkan, dalam hal ini kepada Hyang Widhi dengan manifestasiNya. Tempat untuk menghaturkan banten upasaksi biasanya dibuat khusus yang diberi nama Sanggar Upasaksi, Sanggar Surya atau bisa juga Sanggar Tawang tergantung besar kecilnya upacara yang dilaksanakan. Sanggar Tawang bisa juga disebut Sanggar Agung biasanya dibentuk bangunan temporer dari bambu petung atau batang pinang yang sudah dikupas terlebih dahulu. Sebagai upasaksi, daksina dijadikan sthana Hyang Widhi, apabila Banten Daksina tersebut diletakkan pada Sanggar Surya atau Sanggar Tawang. Mengingat daksina sebagai pelengkap banten-banten lainnya seperti Banten Pejati, sehingga peran daksina menjadi peran utama dalam banten tersebut. Selain alasan di atas, kedudukan daksina yang selalu menyertai banten-banten yang lain adalah karena unsur yang terdapat dalam daksina sangat lengkap, selain itu daksina merupakan kekuatan atau saktinya suatu Yajna. Dengan kata lain suatu upakara Yajna akan menjadi sempurna apabila ada daksinanya.
b)    Peras
Kata peras menurut Sri Arwati (1992:21) berarti sah atau resmi, penggunaan banten peras bertujuan untuk men-“sah”-kan ataau me-resmi-kan suatu upacara yang diselenggarakan secara lahir dan bathin. Secara lahir Banten Peras sudah diwujudkan sebagai sarana, dan secara batin dimohonkan pada persembahannya.
Dalam lontar Yajña Prakerti, peras dinyatakan lambang Hyang Triguna Sakti. Di dalam penyelenggaraan “pemralinan banten” disebutkan bahwa perasmulihing hati” maksudnya peras kembali ke hati, adalah merupakan suatu sugesti bagi pikiran telah berhasil melaksanakan suatu keinginan serta mencapai tujuan seperti yang diharapkan.
c)    Ajuman
Ajuman terdiri dari; (1)Taledan, adalah lambang dasar atau pondasi artinya setiap kegiatan sudah seharusnya memiliki alas atau dasar yang kokoh, kuat apalgi menyangkut pelaksanaan yajña; (2) Ceper memiliki makna catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga). Keempat jalan di atas adalah satu kesatuan atau sebuah totalitas, tidak dapat berdiri sendiri. Begitupula dengan pelaksanaan yajna adalah suatu totalitas pemahaman antara kerja, bhakti, pengetahuan dan kontemplasi (pemusatan pikiran). (3) amas bermakna cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda). (4) Tumpeng adalah kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa telompokan/tumpeng? Sebab, tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada puncak kesadaran Tuhan. (5) Sampiyan Kepet-kepetan bermakna kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma. Sampiyan Kepet-kepetan pula memiliki makna bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di hadapannyaNya, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika semua dilaksanakan dengan tulus ikhlas.
d)    Tipat Kelanan
Tipat Kelanan, bermakna dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia. Sad Ripu disimbolkan dengan tipat yang berjumlah 6 atau yang disebut dengan akelan.
Sad Ripu adalah enam musuh yang terdapat pada diri manusia. Enam musuh tersebut semestinya ditekan dan dikendalikan oleh manusia. Keenam musuh tersebut menurut Ardhana Wisnu (2002:27) adalah : Kama (nafsu), Lobha (rakus), Krodha (marah), Moha (bingung), Mada (mabuk), Matsarya (iri hati).
3.    Simpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai Simbol dan makna Banten Pejati dapat di simpulkan sebagai berikut :
a)    Banten Pejati merupakan simbol alam semesta yang diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
b)    Banten Pejati bermakna bhakti, mengandung makna bahwa segala yang ada di alam semesta serta isinya adalah ciptaan Hyang Widhi dan ciptaan Beliau itu dipersembahkan kembali oleh manusia kepada Beliau sebagai pernyataan terima kasih.
c)    Banten Pejati bermakna sebagai perwujudan bahasa manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhannya.





DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama. Jakarta : Raja Grafindo Perkasa.

Ardhana Wisnu, I Gede. 2002. Musuh-Musuh dalam Diri Manusia. Denpasar : Manikgeni.

Maman, Kh, Dkk. 2006. Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek. Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa.

Mas Putra, I Gst. Ag. 1996. Upakara – Yadnya. Bali : Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Kehidupan beragama tersebar di 9 (sembilan) Kabupaten Daerah Tingkat II.

Pudja, G. 2005. Bhagavad Gita. Surabaya : Paramita

Redig. I Wayan. 2009. Bahan Kuliah Teori Kebudayaan. Denpasar : Universitas Hindu Indonesia.
Surayin, Ida Ayu Putu. 2005. Seri II Upakara Yadnya Bahan dan Bentuk Sesajen. Surabaya : Paramita.

Surayin, Ida Ayu Putu. 2005. Seri I Upakara Yadnya Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-Upacara Yajna. Surabaya : Paramita.

Sri Arwati, Ni Made. 2000. Banten Pejati. Denpasar : Upada Sastra.

Tim Penyusun. 1996. Panca Yadnya. Pemerintah daerah Tingkat I Bali : Denpasar.

Wiana, I Ketut. 2001. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.

                 . 2000. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Surabaya : Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar