Pages

Kamis, 28 Juni 2018

Makna Simbolis Hari Ciwaratri


MAKNA SIMBOLIK HARI SUCI
 SIWARATRI
 

1.   Sumber sastra pelaksanaan Hari Suci Siwalatri
            Sumber ajaran Siwaratri di Bali dan Indonesia pada khususnya adalah sama yaitu kitab-kitab purana. Dimana sebagai dewa utama yang di puja adalah SIWA sebagai dewa tertinggi dan terutama dan di Indonesia dijeelaskan secara panjang lebar adalah di dalam kakawin Siwalatrikalpa dan menurut Teeuw dan kawan – kawan ( 1966) menyatakan bahwa kakawin ini sangat dekat dengan kitab Padma Purana dibandingkan dengan purana yang lainya.
            Sebagai bahan acuan dan memperkuat keyakianan akan Siwaratri maka disini ada beberapa sumber-sumber yang mempunyai hubungan benang merah dengan Siwaratri diantaranya :
a.     Padma Purana
Naskah ini disusun dalam bahasa sansekerta yang  menguraikan tentang percakapan Maha Rsi Wasista dengan Raja Diliva mengenai kemuliaan bharata Siwaratri pada panglong 14 bulan magha, dan secara lengkap teks ini dapat di lihat dalam kitab Siwaratrkalpa yang disusun oleh Prof . Dr. A. Teeuw yang disertai dengan terjemahan menggunakan                  bahasa Inggris ( Purwita, 1984:3)
b.     Brata Siwaratri
Naskah ini berbentuk gancaran dan berupa tutur. Di dalam naskah ini dijelaskan tentang mantra, upacara dan tata cara serta astawa yang dipergunakan dan diatur menurut tingkatannya nista, madya dan utama serta juga di bedakan untuk sang sadaka dan walaka.
c.     Puja Siwaratri
Dalam naskah ini diterangkan jenis puja dan stawa yang digunakan pada saat hari Siwaratri
d.     Kakawin Siwaratrikalpa
Kakawin ini lebih popular dengan sebutan kakawin ludaka yang tersebar di Bali dengan isi ringkas menceritakan perjalanan seseorang pemburu yang bernama Ludaka, yang berangkat berburu di hutan dan lama melakukan perburuan tetapi tidak mendapatkan apa, akhirnya pada saat matahari akan tenggelam ludaka naik ke pohon Bila dan agar tidak tetidur maka dipetiklah daun bila tersebut. Daun Bila yang jatuh secara tidak sengaja mengenai lingga yang ada di bawahnya. Keesokan harinya ludaka kembali ke rumahnya tampa membawa apa-apa dan menceritakan perjalanannya berburu kepada anak dan istrinya. Pada akhirnya ludaka diceritakan sakit dan meninggal lalu arwah (roh/atma) nya diperebutkan antara Dewa yama dengan Dewa Siwa, sehingga akhirnya Dewa Siwa memenagkan perebutan tersebut sehingga Ludaka dapat naik kesiwaloka (sorga)

2.   Sinopsis Kekawin Siwaratri Kalpa
            Kekawin Siwaratri kalpa meneceritakan, pada pagi hari panglong ping 14 atau purwanining Tilem sasih kapitu Si Lubdaka pergi ke tengah hutan untuk berburu binatang (satwa). Ia berjalan seorang diri menuju arah Timur Laut, melewati tempat-tempat pemujaan yang sudah mulai rusak dan kotor, atapnya berserakan, gapuranya rubuh pertanda bahwa orang sudah jarang datang, memperhatikan dan merawat tempat suci tersebut. Setelah seharian berburu di tengah hutan, tak seekor pun binatang ditemukannya hingga menjelang malam.

           
Gambar Ilustrasi. Lubdaka
Ia tersesat ketika hendak kembali pulang, berputar-putar di tengah hutan dan akhirnya ia menemukan sebuah telaga yang terdapat pohon Bila atau maja ditepi telaga tersebut. Karena kemalaman dan takut dari sergapan macan (waigra) yang banyak berkeliaran di sana, maka naiklah dia ke pohon Bila. Untuk menghilangkan kantuk dan takut terjatuh dari pohon, lalu ia memetik daun bila tersebut helai demi helai. Tanpa disadarinya bahwa daun Bila yang dipetiknya berjumlah 108 helai, dan jatuh menimpa Siwa Lingga yang ada di tengah telaga itu. Ketika mentari sudah muncul di ufuk timur Lubdaka turun dari pohon Bila dan langsung pulang meninggalkan keindahan hutan di pagi hari.
Sampai di rumahnya hari sudah menjelang sore, ia disambut oleh anak dan istrinya. Tapi langkah sedih hati keluarganya mengetahui Si Lubdaka tertimpa nasib apes karena tidak satupun mendapatkan hasil buruan. Sesuai dengan perjalanan waktu, tibalah saatnya Si Lubdaka meninggal dunia karena sakit. Rohnya melayang-layang di angkasa tidak tentu arah. Maka datanglah pasukan Yama Bala menjemput dan menangkap roh lubdaka untuk dijebloskan ke kawah neraka karena dosa-dosa Lubdaka yang selalu berbuat kejahatan terhadap mahluk hidup.  Dipihak lain, atas perintah Betara Siwa, pasukan Gana Bala agar menjemput roh Lubdaka yang disakiti oleh Pasukan Yama Bala, karena Lubdaka pernah melaksanakan bratha Siwaratri, untuk dibawa ke Swargaloka. Terjadilah pertempuran antara pasukan Yama Bala dengan Pasukan Gana Bala yang masing-masing menjalankan tugas.  Akhirnya Pasukan Gana Bala memenangkan pertempuran dan roh Lubdaka dibawa ke Swarga Loka dan disambut oleh Widhyadara-Widhyadari serta mengantarkan rohnya ke Swarga dan rohnya pun bahagia disana.

3. Makna Simbolik Hari Siwaratri
Pemaknaan Hari Siwaratri tidak terlepas dari keradaan Kakawin Siwaratri Kalpa yang mendasarinya. Kata simbol (dalam bahasa inggris) mengandung arti untuk sesuatu atau menggambarkan sesuatu, khususnya untuk menggambarkan sesuatu immaterial, abstrak, sesuatu idea, kualitas, tanda-tanda suatu objek, proses dan lain-lain, Coulson (dalam Titib, 2003:63) dijelaskan lebih lanjut oleh Reedel mengenai simbol berasal dari bahasa greek sum-balloo” yang mengandung arti “ saya bersatu bersamanya”, penyatuan bersama”, yang disatukan adalah ketika tanda-tanda menjadi satu tidak terpisahkan dengan kehidupan spiritual, maka hal itu menjadi sangat bermanfaat, hal itu memberikan nilai tambah dan hal itu menjadi simbolis. Immanuel Kant (dalam Triguna, 2003:29) mendifinisikan simbol adalah perantara untuk menampilkan akan murni melalui relasi dengan yang transedental. Menurut Kant, simbol berfungsi untuk : (1) menerapkan suatu pengertian objek pengalaman indrawi; (2) untuk menerapkan hukum refleksi atas pengalaman kepada objek lain. Goethe telah menyatakan bahwa “dalam simbolisme sejati, yang khusus mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian atau bayangan, melainkan wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga”. Lebih lanjut Coleridge menandaskan bahwa simbol sesungguhnya ”mengambil bagian dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti”. Sedangkan menurut Erwin Goodenough mendifinisikan simbol sebagai berikut: simbol adalah barang atau pola yang apa pun sebabnya, berkerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang disajikan itu (Dillistone, 2006:18-19).
Sedangkan psikologi Carl Jung (dalam Triguna, 2003:31) menjelaskan simbol adalah formulasi dari ekspresi yang paling baik akan sesuatu yang mereka tidak kenal, namun hal itu diketahui ada atau diharapkan ada. Menurut fungsi simbol adalah mengungkapkan hal yang tidak terkatakan dalam cara yang tidak teratasi, lebih khusus berfungsi sebagai ekspresi, intitusion dan konseptual. Dari beberapa uraian mengenai simbol di atas, maka Kekawin Siwaratri Kalpa dengan lakon Si Lubdaka dapat diungkap secara lebih mendalam dengan uraian berikut ini :

NO
TANDA
KEMUNGKINAN ARTI DAN MAKNANYA
1
2
3

1
Si Lubdaka mondok di Hutan, hidup sederhana bersa
ma anak dan Istrinya
1.  Orang bersahaja. Salah satu keberadaan manusia yang hidup di jaman pra-modern. Dapat dibandingkan dengan kebiasaan orang tua yang sudah memiliki menantu di sejumlah desa di Bali. Mereka pada umumnya, setelah melimpahkan tanggung jawab sosialnya kepada anaknya yang telah berumah tangga, lebih suka hidup mondok di tegalan miliknya yang ada di luar wilayah Desa Pakraman.
2.  Pertapa. Kebiasaan pertapa adalah hidup menyepi. Membiasakan diri hidup sederhana dengan mengasingkan diri ke tempat-tempat sepi dengan cara mondok di hutan atau pinggir pantai. Pertapa dengan demikian adalah orang yang terlatih membatasi keinginannya.

2
Kebiasaan hidupnya adalah berburu binatang (satwa) terpilih : mong (harimau), wek (babi hutan), gaja (gajah) dan warak (badak)
1.  Melukiskan dharma seorang pemburu; hidup dari hasil berburu seperti binatang harimau, babi hutan, gajah, dan badak. Binatang-binatag ini kemungkinan masih banyak berkeliaran menjadi penghuni hutan di Jawa pada jaman Majapahit.
2.  Mengandaikan orang memburu ego dalam arti berusaha mengendalikan atau melenyapkan sifat-sifat binatang dalam diri. Binatang adalah lambang sifat “rajas, egois, keakuan” dan tamas” malas, suka nikmat sensual, kepemilikan” yang menyebabkan orang berlumur dosa yang disebut dengan Tri Mala. (a) Kasmala; melakukan perbuatan hina, membunuh, mencuri dan berzina. (b) Mada ; mabuk karena merasa cantik, kaya, pandai, bangsawan, kedudukan, sakti, minum, dan berani. Dan (c) Moha ; kebingungan karena kama, penuh nafsu, krodha pemarah, mada pemabuk, irsya suka sirik, lobha tamak.

3
Satu kali ia berangkat berburu pada caturdasing kapitu krsna( panglong 14 Tilem sasih Kapitu)
1.     Kisah berburunya yang menarik untuk diceritakan karena pada hari ke 14 paro terang di bulan Magha ini si Lubdaka tumben sial, tidak mendapatkan hasil buruan, tidak seperti biasanya.
2.     Waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual, Tilem Kepitu = tujuh kegelapan (sapta timira), kemudian panglong 14 (1+ 4) = 5 yaitu panca indera.

4
Pagi hari memakai pakaian hitam kebiru-biruan
1.   Pagi Hari Si Lubdaka telah siap berangkat berburu dengan pakaian hitam kebiru-biruan
2.     Konon adalah pakaian khas kebesarannya
3.     Hitam adalah lambang keberanian, keperkasaan
4.     Pagi hari disebut Brahma Muhurta “Hari Brahman” waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan. Dapat dibandingkan dengan gegelaran Sulinggih Nyurya Sewana ‘memuja Bhatara Siwa  Raditya” tepat ketika matahari baru terbit di ufuk Timur.

5
Berjalan sendirian
1.     Pemberani. Hanya orang yang tidak mengenal atau telah mampu mengatasi rasa takut yang berani sendirian masuk hutan lebat yang dihuni oleh binatang buas seperti hariamau, gajah, badak, babi hutan dan yang lainnya.
2.     Mengikuti jalan yang diebut Nirwrtti Marga ; jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin; berngkat sendirian berarti tidak ada teman bicara, berarti mona brata “tidak berbicara”

6
Siaga membawa panah
1.     Siap dengan senjata panah untuk berburu
2.     Teliti, memusatkan pikirab, berkotemplasi, panah = manah (pemusatan pikiran= yoga)

7
Kearah Timur Laut
1.     Menuju wilayah hutan perburuan yang ada di wilayah Timur Laut.
2.     Kiblat suci yang merupakan kiblat Utara simbol ratri “malam, gelap, hitam” kiblat Timur simbol Siwa  atau Iswara” siang, terang, putih”. Boleh jadi simbol sandi antara paham sakti dengan paham Siwa . Mengingat, Siwa -Sakti : tantrisme sangat kuat pengaruhnya di jaman jayanya Hindu di Jawa dan Bali. Dalam konteks ini pada zaman Majapahit.

8
Selama perjalanan ia menjumpai banyak tempat suci rusak dan tidak berpenghuni lagi.
1.     Demikianlah keberadaan pondok-pondok orang tua yang suka memilih masa akhir hidupnya. Setelah ia mati, pondoknya sering terbengkalai;
2.     Membayangkan situasi politik dan merosotnya kehidupan religius Hindu di akhir jaman “senjakalanya kerajaan Majapahit”

9
Hutan perburuannya indah dan lebat
1.     Hutannya masih lestari
2.     Boleh juga menandakan kondisi fisik yang sehat

10
Tidak seekor binatang buruan pun yang ia dapatkan hari itu
1.     Nasib sial bagi seorang pemburu.
2.     Ego “sifat binatang” sang pertapa tidak diketemukan lagi dalam dirinya. Artinya, sang pertapa telah berhasil mengalahkan keakuan dan rasa kepemilikannya.
11
Tidak terasa Senjakala pun tiba
1.     Karena asyik mengincar binatang buruan Si Lubdaka “lupa” waktu. Ia baru sadar akan keadaan dirinya ketika senja tiba.
2.     Daya konsentrasinya kuat. Vivekananda (2006 : 63) mengatakan, semakin banyak waktu yang terlewatkan tanpa kita perhatikan, semakin berhasil kita dalam berkonsentrasi. Ketika yang lampau dan sekarang berdiam menjadi satu itu berarti pikiran sudah memusat.
3.     Senjakala adalah hari sandi antara terang dengan gelap yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena itu pertapa harus lebih awas dengan meningkatkan kesadaran spiritualnya.

12
Naik pohon wilwa “ Pohon Bila Maja” yang tumbuh di pinggir danau. Di situ ia duduk dicabang pohon.
1.     Merupakan salah satu kebiasaan pemburu, yakni naik pohon untuk bersembunyi dan mengintai binatang buruan.
2.     Meningkatkan kesadaran dengan jalan meditasi unuk memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Pohon Bila/ Maja (ficus religios), mempunyai akar ke atas dan akar kebawah, yang merupakan simbol-simbol sloka-sloka suci Weda, tanaman bilva menyimpan zat asam (oksigen/ neter,). Dimana pohon Bila dianggap sebagai tulang punggung yang secara spiritual di dalamnya terdapat cakra-cakra dan simpangnya melambangkan titik konsentrasi. Naik pohon dapat diartikan sebagai bangkitnya daya sakti atau kundalini sang pertapa.

13
Ranu “danau”
1.     Danau di tengah perburuan
2.     Yoni adalah lambang sakti atau dewi, saktinya Siwa , lambang kesuburan.

14
Di tengah danau itu ada Siwa Lingga Nora Ginawe, batu berdiri alami
1.     Batu berdiri alami yang kebetulan ada di danau itu.
2.     Lingga adalah lambang Siwa . Kata Nora Ginawe mengisyaratkan sifat alami atau abadi; Siwa  adalah realitas yang abadi. Tidak dibuat, karena segala yang dibuat sifatnya tidak abadi; lambang kesadaran.

15
“ Pinipik ikang rwani ing maja” memetik daun maja” sampai fajar menyingsing
1.     Melipur kantuk agar tidak jatuh.
2.     Kata “pinipik” : dipetik, menyarankan makna memetik sari ajaran Siwa . Kata “rwan” : ron atau don berarti daun dapat berarti tujuan. Dirangkai dengan kata maja daun maja. Dapat juga diartikan mengembangkan kesadaran. Sang pertapa berusaha memetik untuk mengembangkan kesadaran. Dalam konteks inilah Jagra Brata diberi makna yakni olah kesadaran (budi) dengan mempelajari ajaran hakikat ketuhanan sampai akhirnya ia mencapai pencerahan rohani.

16
Semua daun maja jatuh mengenai Siwa Lingga, tidak dengan sengaja
1.     Tujuan olah budi (wilwa maja) yang disarankan oleh Mpu Tanakung haruslah dipusatkan atau dijatuhkan pada Siwa Lingga. Artinya olah budi dipusatkan kepada Tuhan. Dengan demikian dapatlah akhirnya dipahami mengapa Mpu Tanakung mengatakan bahwa : “mahaprabhawa nikanang bratapanglimur kadusta-kuhaka, satata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat’ artinya sangat manjur kegunaan Bratha Siwaratri  : Upawasa-Mona-Jagrabrata itu untuk meruwat sifat dusta dan keji.


17
Tiba dipondok sore hari menjelang petang (Tilem)
1.     Berburu cukup jauh. Kemalaman di hutan perburuan. Kenyataan umum bahwa perjalanan berburu puas atau tidak puas ia pasti kembali. Si Lubdaka pun demikian, akhirnya dia pun kembali ke pondoknya.
2.     Kembali dari perjalanan suci yang dilakukan dua hari satu malam : 36 jam. Ini menunjukkan perhitungan yang sempurna, yakni 3+6 = 9.

18
Setibanya di pondok Si Lubdaka baru makan
1.     Perjalanan berburunya tanpa bekal makanan, karena Si Lubdaka tidak ada maksud untuk bermalam di tengah hutan.
2.     Mengisyraratkan laku upawasa “puasa tidak makan dan tidak minum” selam 36 jam.

19
Si Lubdaka tua, sakit lalu mati. Kematiannya ditangisi.
1.     Alami : sesuai siklus hidup
2. Lubdaka adalah orang yang dicintai. Dicintai karena dia adalah orang baik, berjasa kepada keluarga dan warganya. Tanpa itu kematian tidak mungkin ditangisi.

20
Si Lubdaka rohnya diikat dan disiksa oleh prajurit Yama Para Kingkara
Bagaimanapun baik dan berjasanya orang sekali-sekali waktu tentu pernah berbuat dosa. Sesuai dengan hukum karma phala, semua perbuatan pasti berpahala. Karma buruk menerima siksaan dan keterikatan : neraka. Hal ini dibandingkan dengan Yudistira dalam Swargarohana Parwa.

21
Si Lubdaka rohnya direbut dari pasukan Yama, lalu didudukkan dalam kendaraan Siwa  yang bernama Puspaka dan diiringi ke Siwa Loka. Disana ia mendapat berkah ke-Siwa -an : sama dengan Siwa
Penilaian Siwa  bertentangan dengan penilaian Yama. Penilaian Yama adalah penilaian arti, yakni penilaian yang lebih bersifat lahiriah atas perilaku hidup awal Si Lubdaka yang menghidupi keluarganya dari hasil berburu. Atau dapat juga dipahami penilaian dari sisi negatif perilaku hidup Si Lubdaka. Sementara penilaian Siwa  adalah penilaian atas proses kejiwaan yang bersifat implisit dalam kisah Si Lubdaka. Semula ia berada dilingkup hidup duniawi tetapi kemudian dipuncak kisah hidupnya ia berada dilingkup hidup spiritual. Atau dapat juga dipahami sebagai penilaian dari sisi positif perilaku hidup si Lubdaka.  




4. Penutup
Kakawin Siwaratri Kalpa adalah unsur yang sangat penting yang senantiasa mendasari pelaksanaan Hari Suci Siwaratri, kemudian hal tersebut menjadi bahan yang akan selalu berkembang, tumbuh dan berkelanjutan. Lakon dalam kakawin tersebut adalah Lubdaka yang bersifat kontroversi, seorang pembunuh atau pemburu binatang mendapat sinar kesiwaan yang akhirnya bisa mencapai Siwa Loka. Apabila dikaji dari sifat lahiriah Si Lubdaka adalah seorang manusia dengan miskin jasmani dan rohani berdosa besar karena telah membunuh binatang. Tetapi secara spiritual (kejiwaan) disebutkan dalam cerita  Si Lubdaka  terkandung makna kias yang terselubung yang menceritakan seorang yogi yang mencari kecerahan dan berkah kesiwaan.
Upakara yang digunakan pada saat perayaan hari raya suci Siwalatri memiliki makna yang begitu mendalam serta adanya urutan persembahyangan yang dilakukan. Sarana upakara  pada kepercayaan agama Hindu menpunyai kedudukan yang sangat penting, hal ini disebabkan upakara sebagai bagian dari upacara adalah salah satu dari tiga kerangka dasar agama Hindu yaitu Tattwa, Susila dan acara (upacara). Jadi pelaksanaan Hari Raya Suci Siwaratri melalui Bratha Siwaratri memiliki nilai-nilai pendidikan spiritual yang adi luhung sehingga dapat menuntun umat Hindu penuju kebahagiaan yang abadi seperti tujuan agama Hindu untuk mencapai Moksartham Jagadhita Ya ca Iti Dharma.








Daftar Pustaka

Agastia, IBG. 2003. Siwa smerti, Yayasan Dharma Sastra Denpasar.

_______, 1997. Memahami Makna Siwalatri, Yayasan Dharma Sastra Denpasar.

Arsana, I Gusti Gde dkk. 1985. Fungsi Upacara Siwalatri di Bali. Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat jendral kebudayaan proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Arwati, Ni Made sri. 1999. Upacara Upakara. Denpasar. Upada Sastra

Niken Tambang Raras, 2004. Hari Suci Purnama Tilem, Rahasia Kasih Rwa Bineda. Paramita Surabaya.

Ki Nirdon, 1998.Wija Kasawur 2. Denpasar. TU Warta Hindu Dharma

Kajeng, I Nyoman Dkk, 2005. Sarassamuscaya, Surabaya. Paramita

Pudja. G. 2005.  Bhagawad Gita (PancamoWeda) Surabaya : Paramita

Sarma, PT Kisanlal. 2007. Mengapa, Tradisi dan Upacara Hindu dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan ilmiah. Surabaya. Paramita

Suarka, I Nyoman, 2007. “Kidung Tantri Pisacarana: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Pendekatan Semiotik”.Disertasi. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

Suka Yasa, I Wayan, dkk. 2012. Siwaratri. Wacana Perburuan Spiritual (dulu dan kini). Denpasar : Widya Dharma.

Tim Penyususn, 2007. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dharma Wacana. Surabaya. Paramita

Titib, I Made, 2003. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita

Triguna, IB Yudha. 1997. Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma.

Rasti, Ni Wayan dkk. 2004. Siwalatri Tinjauan Sosioreligius dan Filosofis. Surabaya Paramita.

Watra, I Wayan dkk. 2007. Pandangan Filosofis, Etika dan Upakara Siwalatri di Era Modern. Surabaya. Paramita

Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya. 2004. Makna Filosofis Upacara dan Upakara. Surabaya: Paramita











Tidak ada komentar:

Posting Komentar