MAKNA
SIMBOLIK HARI SUCI
SIWARATRI
1.
Sumber
sastra pelaksanaan Hari Suci Siwalatri
Sumber
ajaran Siwaratri di Bali dan Indonesia pada khususnya adalah sama yaitu
kitab-kitab purana. Dimana sebagai dewa utama yang di puja adalah SIWA sebagai
dewa tertinggi dan terutama dan di Indonesia dijeelaskan secara panjang lebar
adalah di dalam kakawin Siwalatrikalpa
dan menurut Teeuw dan kawan – kawan ( 1966) menyatakan bahwa kakawin ini sangat
dekat dengan kitab Padma Purana dibandingkan dengan purana yang lainya.
Sebagai bahan acuan dan memperkuat
keyakianan akan Siwaratri maka disini ada beberapa sumber-sumber yang mempunyai
hubungan benang merah dengan Siwaratri diantaranya :
a. Padma Purana
Naskah ini disusun dalam bahasa sansekerta
yang menguraikan tentang percakapan Maha
Rsi Wasista dengan Raja Diliva mengenai kemuliaan bharata Siwaratri pada panglong
14 bulan magha, dan secara lengkap teks ini dapat di lihat dalam kitab
Siwaratrkalpa yang disusun oleh Prof . Dr. A. Teeuw yang disertai dengan
terjemahan menggunakan
bahasa Inggris ( Purwita, 1984:3)
b. Brata Siwaratri
Naskah ini berbentuk
gancaran dan berupa tutur. Di dalam naskah ini dijelaskan tentang mantra,
upacara dan tata cara serta astawa yang dipergunakan dan diatur menurut
tingkatannya nista, madya dan utama serta juga di bedakan untuk sang sadaka dan walaka.
c. Puja Siwaratri
Dalam naskah ini diterangkan jenis puja dan stawa yang
digunakan pada saat hari Siwaratri
d.
Kakawin Siwaratrikalpa
Kakawin ini lebih popular dengan
sebutan kakawin ludaka yang tersebar di Bali dengan isi ringkas menceritakan
perjalanan seseorang pemburu yang bernama Ludaka, yang berangkat berburu di
hutan dan lama melakukan perburuan tetapi tidak mendapatkan apa, akhirnya pada
saat matahari akan tenggelam ludaka naik ke pohon Bila dan agar tidak tetidur
maka dipetiklah daun bila tersebut. Daun
Bila yang jatuh secara tidak sengaja mengenai lingga yang ada di bawahnya.
Keesokan harinya ludaka kembali ke rumahnya tampa membawa apa-apa dan
menceritakan perjalanannya berburu kepada anak dan istrinya. Pada akhirnya
ludaka diceritakan sakit dan meninggal lalu arwah (roh/atma) nya diperebutkan
antara Dewa yama dengan Dewa Siwa, sehingga akhirnya Dewa Siwa memenagkan
perebutan tersebut sehingga Ludaka dapat naik kesiwaloka (sorga)
2.
Sinopsis
Kekawin Siwaratri Kalpa
Kekawin
Siwaratri kalpa meneceritakan, pada pagi hari panglong ping 14 atau purwanining
Tilem sasih kapitu Si Lubdaka pergi ke tengah hutan untuk berburu binatang
(satwa). Ia berjalan seorang diri menuju arah Timur Laut, melewati
tempat-tempat pemujaan yang sudah mulai rusak dan kotor, atapnya berserakan,
gapuranya rubuh pertanda bahwa orang sudah jarang datang, memperhatikan dan
merawat tempat suci tersebut. Setelah seharian berburu di tengah hutan, tak
seekor pun binatang ditemukannya hingga menjelang malam.
|
Gambar Ilustrasi. Lubdaka |
Ia
tersesat ketika hendak kembali pulang, berputar-putar di tengah hutan dan
akhirnya ia menemukan sebuah telaga yang terdapat pohon Bila atau maja ditepi
telaga tersebut. Karena kemalaman dan takut dari sergapan macan (waigra) yang
banyak berkeliaran di sana, maka naiklah dia ke pohon Bila. Untuk menghilangkan
kantuk dan takut terjatuh dari pohon, lalu ia memetik daun bila tersebut helai
demi helai. Tanpa disadarinya bahwa daun Bila yang dipetiknya berjumlah 108
helai, dan jatuh menimpa Siwa Lingga yang ada di tengah telaga itu. Ketika
mentari sudah muncul di ufuk timur Lubdaka turun dari pohon Bila dan langsung
pulang meninggalkan keindahan hutan di pagi hari.
Sampai di rumahnya hari
sudah menjelang sore, ia disambut oleh anak dan istrinya. Tapi langkah sedih
hati keluarganya mengetahui Si Lubdaka tertimpa nasib apes karena tidak satupun
mendapatkan hasil buruan. Sesuai dengan perjalanan waktu, tibalah saatnya Si Lubdaka
meninggal dunia karena sakit. Rohnya melayang-layang di angkasa tidak tentu
arah. Maka datanglah pasukan Yama Bala menjemput dan menangkap roh lubdaka
untuk dijebloskan ke kawah neraka karena dosa-dosa Lubdaka yang selalu berbuat
kejahatan terhadap mahluk hidup. Dipihak
lain, atas perintah Betara Siwa, pasukan Gana Bala agar menjemput roh Lubdaka
yang disakiti oleh Pasukan Yama Bala, karena Lubdaka pernah melaksanakan bratha
Siwaratri, untuk dibawa ke Swargaloka. Terjadilah pertempuran antara pasukan
Yama Bala dengan Pasukan Gana Bala yang masing-masing menjalankan tugas. Akhirnya Pasukan Gana Bala memenangkan
pertempuran dan roh Lubdaka dibawa ke Swarga Loka dan disambut oleh
Widhyadara-Widhyadari serta mengantarkan rohnya ke Swarga dan rohnya pun bahagia
disana.
3.
Makna Simbolik Hari Siwaratri
Pemaknaan Hari Siwaratri tidak terlepas dari
keradaan Kakawin Siwaratri Kalpa yang mendasarinya. Kata simbol (dalam
bahasa inggris) mengandung arti untuk sesuatu atau menggambarkan sesuatu,
khususnya untuk menggambarkan sesuatu immaterial, abstrak, sesuatu idea,
kualitas, tanda-tanda suatu objek, proses dan lain-lain, Coulson (dalam Titib,
2003:63) dijelaskan lebih lanjut oleh Reedel mengenai simbol berasal dari
bahasa greek “sum-balloo” yang mengandung arti “
saya bersatu bersamanya”, penyatuan bersama”, yang disatukan adalah ketika
tanda-tanda menjadi satu tidak terpisahkan dengan kehidupan spiritual, maka hal
itu menjadi sangat bermanfaat, hal itu memberikan nilai tambah dan hal itu
menjadi simbolis. Immanuel Kant (dalam Triguna, 2003:29) mendifinisikan simbol
adalah perantara untuk menampilkan akan murni melalui relasi dengan yang
transedental. Menurut Kant, simbol berfungsi untuk : (1) menerapkan suatu
pengertian objek pengalaman indrawi; (2) untuk menerapkan hukum refleksi atas
pengalaman kepada objek lain. Goethe telah menyatakan bahwa “dalam simbolisme
sejati, yang khusus mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian atau
bayangan, melainkan wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga”. Lebih
lanjut Coleridge menandaskan bahwa simbol sesungguhnya ”mengambil bagian dalam
realitas yang membuatnya dapat dimengerti”. Sedangkan menurut Erwin Goodenough
mendifinisikan simbol sebagai berikut: simbol adalah barang atau pola yang apa
pun sebabnya, berkerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampui
pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk
yang disajikan itu (Dillistone, 2006:18-19).
Sedangkan psikologi Carl Jung (dalam Triguna,
2003:31) menjelaskan simbol adalah formulasi dari ekspresi yang paling baik
akan sesuatu yang mereka tidak kenal, namun hal itu diketahui ada atau
diharapkan ada. Menurut fungsi simbol adalah mengungkapkan hal yang tidak
terkatakan dalam cara yang tidak teratasi, lebih khusus berfungsi sebagai
ekspresi, intitusion dan konseptual. Dari beberapa uraian mengenai simbol di
atas, maka Kekawin Siwaratri Kalpa dengan lakon Si Lubdaka dapat diungkap secara
lebih mendalam dengan uraian berikut ini :
NO
|
TANDA
|
KEMUNGKINAN
ARTI DAN MAKNANYA
|
1
|
2
|
3
|
1
|
Si Lubdaka mondok di Hutan, hidup
sederhana bersa
ma anak dan Istrinya |
1. Orang
bersahaja. Salah satu keberadaan manusia yang hidup di jaman pra-modern.
Dapat dibandingkan dengan kebiasaan orang tua yang sudah memiliki menantu di
sejumlah desa di Bali. Mereka pada umumnya, setelah melimpahkan tanggung
jawab sosialnya kepada anaknya yang telah berumah tangga, lebih suka hidup
mondok di tegalan miliknya yang ada di luar wilayah Desa Pakraman.
2. Pertapa.
Kebiasaan pertapa adalah hidup menyepi. Membiasakan diri hidup sederhana
dengan mengasingkan diri ke tempat-tempat sepi dengan cara mondok di hutan
atau pinggir pantai. Pertapa dengan demikian adalah orang yang terlatih
membatasi keinginannya.
|
2
|
Kebiasaan hidupnya adalah berburu
binatang (satwa) terpilih : mong (harimau), wek (babi hutan), gaja (gajah)
dan warak (badak)
|
1. Melukiskan
dharma seorang pemburu; hidup dari hasil berburu seperti binatang harimau,
babi hutan, gajah, dan badak. Binatang-binatag ini kemungkinan masih banyak
berkeliaran menjadi penghuni hutan di Jawa pada jaman Majapahit.
2. Mengandaikan
orang memburu ego dalam arti berusaha mengendalikan atau melenyapkan
sifat-sifat binatang dalam diri. Binatang adalah lambang sifat “rajas, egois,
keakuan” dan tamas” malas, suka nikmat sensual, kepemilikan” yang menyebabkan
orang berlumur dosa yang disebut dengan Tri Mala. (a) Kasmala; melakukan
perbuatan hina, membunuh, mencuri dan berzina. (b) Mada ; mabuk karena merasa
cantik, kaya, pandai, bangsawan, kedudukan, sakti, minum, dan berani. Dan (c)
Moha ; kebingungan karena kama, penuh nafsu, krodha pemarah, mada pemabuk,
irsya suka sirik, lobha tamak.
|
3
|
Satu kali ia berangkat berburu pada
caturdasing kapitu krsna( panglong 14 Tilem sasih Kapitu)
|
1. Kisah
berburunya yang menarik untuk diceritakan karena pada hari ke 14 paro terang
di bulan Magha ini si Lubdaka tumben sial, tidak mendapatkan hasil buruan,
tidak seperti biasanya.
2. Waktu
kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual, Tilem Kepitu = tujuh
kegelapan (sapta timira), kemudian panglong 14 (1+ 4) = 5 yaitu panca indera.
|
4
|
Pagi hari memakai pakaian hitam
kebiru-biruan
|
1. Pagi
Hari Si Lubdaka telah siap berangkat berburu dengan pakaian hitam
kebiru-biruan
2. Konon
adalah pakaian khas kebesarannya
3. Hitam
adalah lambang keberanian, keperkasaan
4. Pagi
hari disebut Brahma Muhurta “Hari Brahman” waktu yang baik untuk melakukan
olah spiritual atau memuja Tuhan. Dapat dibandingkan dengan gegelaran
Sulinggih Nyurya Sewana ‘memuja Bhatara Siwa
Raditya” tepat ketika matahari baru terbit di ufuk Timur.
|
5
|
Berjalan sendirian
|
1. Pemberani.
Hanya orang yang tidak mengenal atau telah mampu mengatasi rasa takut yang
berani sendirian masuk hutan lebat yang dihuni oleh binatang buas seperti
hariamau, gajah, badak, babi hutan dan yang lainnya.
2. Mengikuti
jalan yang diebut Nirwrtti Marga ; jalan spiritual bagi seorang pertapa atau
jnanin; berngkat sendirian berarti tidak ada teman bicara, berarti mona brata
“tidak berbicara”
|
6
|
Siaga membawa panah
|
1. Siap
dengan senjata panah untuk berburu
2. Teliti,
memusatkan pikirab, berkotemplasi, panah = manah (pemusatan pikiran= yoga)
|
7
|
Kearah Timur Laut
|
1. Menuju
wilayah hutan perburuan yang ada di wilayah Timur Laut.
2. Kiblat
suci yang merupakan kiblat Utara simbol ratri “malam, gelap, hitam” kiblat
Timur simbol Siwa atau Iswara” siang,
terang, putih”. Boleh jadi simbol sandi antara paham sakti dengan paham Siwa
. Mengingat, Siwa -Sakti : tantrisme sangat kuat pengaruhnya di jaman jayanya
Hindu di Jawa dan Bali. Dalam konteks ini pada zaman Majapahit.
|
8
|
Selama perjalanan ia menjumpai banyak
tempat suci rusak dan tidak berpenghuni lagi.
|
1. Demikianlah
keberadaan pondok-pondok orang tua yang suka memilih masa akhir hidupnya.
Setelah ia mati, pondoknya sering terbengkalai;
2. Membayangkan
situasi politik dan merosotnya kehidupan religius Hindu di akhir jaman
“senjakalanya kerajaan Majapahit”
|
9
|
Hutan perburuannya indah dan lebat
|
1. Hutannya
masih lestari
2. Boleh
juga menandakan kondisi fisik yang sehat
|
10
|
Tidak seekor binatang buruan pun yang
ia dapatkan hari itu
|
1. Nasib
sial bagi seorang pemburu.
2. Ego
“sifat binatang” sang pertapa tidak diketemukan lagi dalam dirinya. Artinya,
sang pertapa telah berhasil mengalahkan keakuan dan rasa kepemilikannya.
|
11
|
Tidak terasa Senjakala pun tiba
|
1. Karena
asyik mengincar binatang buruan Si Lubdaka “lupa” waktu. Ia baru sadar akan
keadaan dirinya ketika senja tiba.
2. Daya
konsentrasinya kuat. Vivekananda (2006 : 63) mengatakan, semakin banyak waktu
yang terlewatkan tanpa kita perhatikan, semakin berhasil kita dalam
berkonsentrasi. Ketika yang lampau dan sekarang berdiam menjadi satu itu
berarti pikiran sudah memusat.
3. Senjakala
adalah hari sandi antara terang dengan gelap yang menyebabkan kenyataan
menjadi tidak jelas. Oleh karena itu pertapa harus lebih awas dengan
meningkatkan kesadaran spiritualnya.
|
12
|
Naik pohon wilwa “ Pohon Bila Maja”
yang tumbuh di pinggir danau. Di situ ia duduk dicabang pohon.
|
1. Merupakan
salah satu kebiasaan pemburu, yakni naik pohon untuk bersembunyi dan
mengintai binatang buruan.
2. Meningkatkan
kesadaran dengan jalan meditasi unuk memurnikan pikiran agar daya budi
terungkap. Pohon Bila/ Maja (ficus religios), mempunyai akar ke atas dan akar
kebawah, yang merupakan simbol-simbol sloka-sloka suci Weda, tanaman bilva
menyimpan zat asam (oksigen/ neter,). Dimana pohon Bila dianggap sebagai
tulang punggung yang secara spiritual di dalamnya terdapat cakra-cakra dan
simpangnya melambangkan titik konsentrasi. Naik pohon dapat diartikan sebagai
bangkitnya daya sakti atau kundalini sang pertapa.
|
13
|
Ranu “danau”
|
1. Danau
di tengah perburuan
2. Yoni
adalah lambang sakti atau dewi, saktinya Siwa , lambang kesuburan.
|
14
|
Di tengah danau itu ada Siwa Lingga
Nora Ginawe, batu berdiri alami
|
1. Batu
berdiri alami yang kebetulan ada di danau itu.
2. Lingga
adalah lambang Siwa . Kata Nora Ginawe mengisyaratkan sifat alami atau abadi;
Siwa adalah realitas yang abadi. Tidak
dibuat, karena segala yang dibuat sifatnya tidak abadi; lambang kesadaran.
|
15
|
“ Pinipik ikang rwani ing maja” memetik
daun maja” sampai fajar menyingsing
|
1. Melipur
kantuk agar tidak jatuh.
2. Kata
“pinipik” : dipetik, menyarankan makna memetik sari ajaran Siwa . Kata “rwan”
: ron atau don berarti daun dapat berarti tujuan. Dirangkai dengan kata maja
daun maja. Dapat juga diartikan mengembangkan kesadaran. Sang pertapa
berusaha memetik untuk mengembangkan kesadaran. Dalam konteks inilah Jagra
Brata diberi makna yakni olah kesadaran (budi) dengan mempelajari ajaran
hakikat ketuhanan sampai akhirnya ia mencapai pencerahan rohani.
|
16
|
Semua daun maja jatuh mengenai Siwa
Lingga, tidak dengan sengaja
|
1. Tujuan
olah budi (wilwa maja) yang disarankan oleh Mpu Tanakung haruslah dipusatkan
atau dijatuhkan pada Siwa Lingga. Artinya olah budi dipusatkan kepada Tuhan.
Dengan demikian dapatlah akhirnya dipahami mengapa Mpu Tanakung mengatakan
bahwa : “mahaprabhawa nikanang bratapanglimur kadusta-kuhaka, satata turun
mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat’ artinya sangat manjur
kegunaan Bratha Siwaratri :
Upawasa-Mona-Jagrabrata itu untuk meruwat sifat dusta dan keji.
|
17
|
Tiba dipondok sore hari menjelang
petang (Tilem)
|
1. Berburu
cukup jauh. Kemalaman di hutan perburuan. Kenyataan umum bahwa perjalanan
berburu puas atau tidak puas ia pasti kembali. Si Lubdaka pun demikian,
akhirnya dia pun kembali ke pondoknya.
2. Kembali
dari perjalanan suci yang dilakukan dua hari satu malam : 36 jam. Ini
menunjukkan perhitungan yang sempurna, yakni 3+6 = 9.
|
18
|
Setibanya di pondok Si Lubdaka baru
makan
|
1. Perjalanan
berburunya tanpa bekal makanan, karena Si Lubdaka tidak ada maksud untuk
bermalam di tengah hutan.
2. Mengisyraratkan
laku upawasa “puasa tidak makan dan tidak minum” selam 36 jam.
|
19
|
Si Lubdaka tua, sakit lalu mati.
Kematiannya ditangisi.
|
1. Alami
: sesuai siklus hidup
2. Lubdaka
adalah orang yang dicintai. Dicintai karena dia adalah orang baik, berjasa
kepada keluarga dan warganya. Tanpa itu kematian tidak mungkin ditangisi.
|
20
|
Si Lubdaka rohnya diikat dan disiksa
oleh prajurit Yama Para Kingkara
|
Bagaimanapun baik dan berjasanya orang
sekali-sekali waktu tentu pernah berbuat dosa. Sesuai dengan hukum karma phala,
semua perbuatan pasti berpahala. Karma buruk menerima siksaan dan keterikatan
: neraka. Hal ini dibandingkan dengan Yudistira dalam Swargarohana Parwa.
|
21
|
Si Lubdaka rohnya direbut dari pasukan
Yama, lalu didudukkan dalam kendaraan Siwa
yang bernama Puspaka dan diiringi ke Siwa Loka. Disana ia mendapat
berkah ke-Siwa -an : sama dengan Siwa
|
Penilaian Siwa bertentangan dengan penilaian Yama.
Penilaian Yama adalah penilaian arti, yakni penilaian yang lebih bersifat
lahiriah atas perilaku hidup awal Si Lubdaka yang menghidupi keluarganya dari
hasil berburu. Atau dapat juga dipahami penilaian dari sisi negatif perilaku
hidup Si Lubdaka. Sementara penilaian Siwa
adalah penilaian atas proses kejiwaan yang bersifat implisit dalam
kisah Si Lubdaka. Semula ia berada dilingkup hidup duniawi tetapi kemudian
dipuncak kisah hidupnya ia berada dilingkup hidup spiritual. Atau dapat juga
dipahami sebagai penilaian dari sisi positif perilaku hidup si Lubdaka.
|
4.
Penutup
Kakawin
Siwaratri Kalpa adalah unsur yang sangat penting yang senantiasa mendasari
pelaksanaan Hari Suci Siwaratri, kemudian hal tersebut menjadi bahan yang akan
selalu berkembang, tumbuh dan berkelanjutan. Lakon dalam kakawin tersebut
adalah Lubdaka yang bersifat kontroversi, seorang pembunuh atau pemburu
binatang mendapat sinar kesiwaan yang akhirnya bisa mencapai Siwa Loka. Apabila
dikaji dari sifat lahiriah Si Lubdaka adalah seorang manusia dengan miskin
jasmani dan rohani berdosa besar karena telah membunuh binatang. Tetapi secara
spiritual (kejiwaan) disebutkan dalam cerita
Si Lubdaka terkandung makna kias
yang terselubung yang menceritakan seorang yogi yang mencari kecerahan dan
berkah kesiwaan.
Upakara yang digunakan pada saat perayaan hari raya suci Siwalatri memiliki makna yang begitu mendalam serta adanya
urutan persembahyangan
yang dilakukan. Sarana upakara pada
kepercayaan agama Hindu menpunyai kedudukan yang sangat penting, hal ini
disebabkan upakara sebagai bagian dari upacara adalah salah satu dari tiga kerangka dasar agama Hindu yaitu Tattwa, Susila
dan acara (upacara). Jadi
pelaksanaan Hari Raya Suci Siwaratri melalui Bratha Siwaratri memiliki
nilai-nilai pendidikan spiritual yang adi luhung sehingga dapat menuntun umat
Hindu penuju kebahagiaan yang abadi seperti tujuan agama Hindu untuk mencapai
Moksartham Jagadhita Ya ca Iti Dharma.
Daftar Pustaka
Agastia, IBG. 2003. Siwa smerti, Yayasan Dharma Sastra
Denpasar.
_______, 1997. Memahami Makna Siwalatri, Yayasan Dharma Sastra Denpasar.
Arsana, I Gusti Gde dkk. 1985. Fungsi Upacara Siwalatri di Bali.
Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat jendral kebudayaan
proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Arwati, Ni Made sri. 1999. Upacara Upakara. Denpasar. Upada Sastra
Niken Tambang Raras,
2004. Hari Suci Purnama Tilem, Rahasia
Kasih Rwa Bineda. Paramita Surabaya.
Ki Nirdon, 1998.Wija Kasawur 2. Denpasar. TU Warta Hindu
Dharma
Kajeng, I Nyoman
Dkk, 2005. Sarassamuscaya, Surabaya. Paramita
Pudja. G. 2005. Bhagawad Gita (PancamoWeda) Surabaya : Paramita
Sarma, PT Kisanlal. 2007.
Mengapa, Tradisi dan Upacara Hindu
dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan ilmiah. Surabaya. Paramita
Suarka, I
Nyoman, 2007. “Kidung Tantri Pisacarana: Suntingan Teks, Terjemahan, dan
Pendekatan Semiotik”.Disertasi. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Suka Yasa, I
Wayan, dkk. 2012. Siwaratri. Wacana Perburuan Spiritual (dulu dan kini).
Denpasar : Widya Dharma.
Tim Penyususn, 2007. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dharma Wacana.
Surabaya. Paramita
Titib, I Made, 2003. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama
Hindu. Surabaya: Paramita
Triguna, IB Yudha. 1997. Teori Tentang Simbol.
Denpasar : Widya Dharma.
Rasti, Ni Wayan dkk. 2004. Siwalatri Tinjauan Sosioreligius dan Filosofis. Surabaya Paramita.
Watra, I Wayan dkk. 2007. Pandangan Filosofis, Etika dan Upakara Siwalatri di Era Modern.
Surabaya. Paramita
Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya.
2004. Makna Filosofis Upacara dan Upakara. Surabaya: Paramita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar