Pages

Minggu, 22 Maret 2020

Hari Raya Galungan


Hari Raya Galungan dan Kuningan
Oleh :
I Made Kartiada. SAg, M.Si
Penyuluh Agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kab. Badung

 

1.      Pengertian Umum  dan Mitologi Galungan dan Kuningan.

Hari raya Galungan adalah salah satu bentuk dari pelaksanaan dewa yajna. Hari raya Galungan adalah hari raya keagamaan yang berdasar pada wuku, yang datangnya setiap 210 hari atau enam bulan sekali dan jatuh pada hari Rebo/Budha Kliwon Dungulan. Kata Galungan berasal dari kata “Galunggang” yang berarti tertancapnya sebuah panah. Kata panah memiliki maksud “manah” atau  hati sanubari. Dengan demikian tertancapnya sebuah panah mengandung maksud tercapainya titik tujuan akhir atau menuju kecemerlangan atau dharma. Menurut Lontar Medang Kemulan disebutkan bahwa kata Galungan berasal dari kata “Ga” dan “Lungan”. “Gal” yang berarti tunggal dan “Lungan” berarti pergi yang dalam bahasa Bali disebut melampah atau berperilaku. Ini terkait dengan perginya Sri Aji Jayakesunu dari kerajaan untuk melakukan tapa di tengah hutan  dengan tidak dikawal oleh satu orang pun.
Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam Lontar ini disebutkan :
Punang act Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya”.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif lebih pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata. Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau

 “bisikan religius”dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
 Secara Mitologi Hari Raya Galungan juga diuraikan dalam lontar Usana Bali  yang menceritakan  bahwa perayaan Galungan adalah suatu peringatan atas kemenangan Bhatara Indra bersama Bhatara Wisnu dalam pertempurannya melawan KI Mayadenawa, dengan kemenangan dipihak Bhatara Indra bersama Bhatara Wisnu. Untuk mengenang kematian Ki Mayadenawa akibat peperangan tersebut, maka pada hari itu diperingatilah dengan perayaan hari raya Galungan. Dalam hal ini kata Galungan berasal dari urat kata “Gal” dan “Gal” berasal dari kata penggal atau punggel (bahasa Bali). Kata “Lung  yang berarti patah atau pisah. Kata “Lungan” (kata benda) yang berarti patahan-patahan. Kemudian hari ini populer disebut denga hari raya Galungan yang hahekatnya bertujuan untuk memperingati kematian Ki Mayadenawa di Tukad Yeh Petanu (sungai Yeh Petanu) di daerah pejeng sekarang. Ki Mayadenawa bisa dibunuh setelah Bhatara Indra berhasil memenggal dan Bhatara Wisnu berhasil memotong-motong tubuh Ki Mayadenawa. Kemenangan ini diperngati dalam hari raya Galungan yang melambangkan hari kemenangan dharma melawan adharma.
Kuningan berasal dari kata  “Kauningan”. Hal itu didapat ketika masyarakat memenangkan musuh yang ada dalam tubuh yang disebut dengan dasa indria. Kuningan intinya memuja Tuhan dalam keheningan. Dalam keheningan itu diharapkan muncul div atau sinar suci Tuhan. Selain panah, dalam Kuningan juga dipasang endongan yang merupakan simbol perbekelan (logistik) dalam perang. Sedangkan dalam konteks keberagamaan, endongan tersebut bermakna bekal dalam mengarungi kehidupan seterusnya. Bekal itu tiada lain adalah karma atau hasil dari perbuatan, apakah ia Subha Karma (perbuatan baik) atau Asubha Karma (perbuatan buruk).jadi hanya karma diri sendirilah sebagai bekal untuk menuntun menuju perjalanan selanjutnya. Selain endongan dalam Kuningan juga dipasang tamiang yang merupakan perlambang perisai diri. Untuk menjaga serangan musuh maka diperlukan perisai. Yang dimaksud adalah pengendalian diri dan pelajaran agama yang dianggap sebagai benteng terhadap diri.  

2. Aktulisasi Nilai Hari Raya Galungan Dan Kuningan Dalam Kehidupan.
Galungan merupakan hari kemenangan Dharma melawan Adharma, memiliki tujuan agar umat mampu anyeking jnana, yang artinya umat mampu mengendalikan pikiran. Dengan pikiran yang galang apadang (pikiran yang cerah) umat akan mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Dengan demikian, sifat-sifat Adharma dapat dijauhkan dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu dengan memusatkan pikiran diharapkan umat dapat menjiwai segala perkataan (wacika) dan perbuatan (kayika) dan perbuatan (kayika) menjadi sudha nirmala.
Dalam memaknai Galungan umat mestinya bertanya dalam hati apakah sudah mengalami kemenangan dalam mengarungi hidup. Untuk mengetahui hal itu jawabannya ada pada diri sendiri. Oleh karena itu melalui perayaan Galungan ini kita dapat mengevaluasi diri dan intsrospeksi diri. Apakah sudah mampu menegakkan dharma?, pertanyaan itu dapat ditanyakan pada diri sendiri. Karena itu hari raya Galungan sangat tepat dijadikan tonggak untuk instrospeksi. Dengan demikian dapat diketahui apakah selama ini kita sudah menang (jaya) dalam bertempur melawan Adharma?. Hal itu patut direnungkan sebagai pengejawantahan pelaksanaan hari raya Galungan sebagai salah satu wujud kemenangan Dharma melawan Adharma. Disamping itu lewat perayaan hari raya Galungan umat diharapkan lebih menumbuhkan rasa kesatuan dan persatuan diantara intern umat dan sesama umat, sebagai praktik dari nilai Penyajaan Galungan  yaitu “Pengatayawaning Sang ngamong yoga semadhi” yang artinya membuktikan kesungguhan hati orang yang melaksanakan yoga semadhi di dalam menghadapi godaan Sang Kala Tiga. Sang Kala itu tidak jauh dari diri manusia itu sendiri. Dalam diri manusia terdapat dua sifat yaitu raksasa dan dewa. Dalam mencermati kedua sifat inilah memerlukan wiweka demi keharmonisan hidup. Sifat-sifat dewalah yang mesti dikedepankan dalam mengarungi kehidupan ini, sehingga kaharmonisan hidup tercapai.   
Hari Raya Galungan pada hakekatnya sebagai suatu peringatan untuk mengingatkan umat manusia agar senantiasa menguatkan jnana-nya sebagai kekuatan citta untuk menghadapi gelapnya awidya kekuatan negatif dari unsur klesa. Dalam diri manusia menurut Wrehaspati Tattwa ada dua arah yang berlawanan dalam diri manusia yaitu unsur citta sebagai alam pikiran dengan kesadaran budhi yang berasal dari Atman. Sedangkan Klesa adalah unsur kegelapan yang menjauhi kebenaran datang dari Pradhana. Idealnya manusia akan dapat meraih kehidupan yang bahagia dan sejahtera apabila mampu memposisikan kesucian citta dengan jnana-nya di atas kekuatan klesa dengan awidya-nya. Jnana itu adalah unsur citta yang ada dalam diri setiap orang sebagai kekuatan suci untuk mengarahkan perilaku mulia mengarungi hidup di dunia ini. Klesa akan menjadi positif apabila ia berada di bawah kendali jnana citta. Ibarat kuda yang sehat dan kuat akan menjadi kekuatan untuk menarik kereta mencapai tujuan apabila ada di bawah kendalin sais kereta dengan lis sebagai tali kekangnya.
            Terjadinya berbagai gejolak zaman dewasa ini karena manusia hidup terjebak oleh kehidupan yang hedonis. Hidup nikmat tentunya boleh-boleh saja dan juga sah-sah saja. Yang penting jangan terlena oleh kenikmatan duniawi itu. Kenikmatan duniawi itu cepat atau lambat akan berlalu sejalan dengan proses kehidupan manusia. Tak ada manusia yang mampu menghindari siklus lahir, hidup dan mati. Hari raya Galungan mengingatkan kita agar dengan jiwa yang cerah mengikuti siklus lahir, hidup dan mati itu. Jiwa yang cerah dalam perayaan Galungan itu dalam lontar Sundarigama memuat ajaran bahwa dengan “patitis ikang jnana sandhi galang apadang maryakena byaparaning idep” yang dapat diartikan ketika hari raya Galungan dengan sarana bhakti yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi umat Hindu diajarakan untuk memusatkan pikiran (patitis ikang jnana sandhi) kepada-Nya, agar mendapat galang apadang (pencerahan pikiran) sinar kesucian dan jalan kebenaran untuk menapak hidup dengan jalan kedamaian. Melalui pemusatan pikiran yang benar, ketenangan dan kedamaian akan dapat diraih. Orang yang demikian disebut mampu menghapus noda-noda pikiran (maryakena byaparaning idep), maka lenyaplah segala pikiran yang berkaitan dengan derita manusia sehingga dengan demikian  akan muncul kesucian dan kebaikan manusia dalam perilakunya.  Jalan nyata untuk menuju kondisi itu tiada lain dengan mengubah kebiasaan berkata fitnah ke kebiasaan berkata kasih, mulanya sering berbohong berubah menjadi jujur. Mabuk-mabukan, berjudi, mencuri dan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya mestinya dapat dihentikan dan dirubah menjadi perbuatan positif dan bermanfaat. Setelah seseorang merayakan, memahami dan melaksanakan makna Galungan dengan tulus diharapkan perilakunya berubah menjadi penuh kasih sayang.
            Walaupun manusia ingin mengubah perilakunya ke arah lebih baik namun masih banyak yang kebingungan mencari jalan menuju kedamaian.Sebenarnya kebingungan itu dapat diatasi bila manusia mampu memaknai Galungan sebagai media spiritual yang senantiasa mengandung nilai penyadaran dan kemenangan manusia dalam pergulatan hidup untuk mengendalikan keinginan di dunia. Sesungguhnya, kemenangan dan pencerahan hidup dapat diraih bila seseorang telah menjalankan dharma (kebenaran) itu sendiri.
            Sementara dalam hari raya Kuningan berbagai simbol perang mewarnai perayaan tersebut seperti sampian tamiang. Simbol itu dimaknai sebagai pertahanan diri yang ampuh adalah moral dan etika serta ilmu pengetahuan. Dengan memiliki pertahanan seperti itu umat diharapkan mampu menghadapi kegelapan, kebodohan dan musuh-musuh yang ada dalam diri, maupun tekanan eksternal yang ingin merusak nilai kesucian, umat diharapkan dapat mencapai jagathita. Demikian juga dalam hari raya Kuningan bentuk ekspresi budaya masyarakat didominasi warna kuning. Perayaan Kuningan mengambil waktu pagi hari, ketika matahari mulai terbit. Memang pancaran kesucian atau situasi keheningan didapat pada waktu tersebut. Pada saat itu dipasang hiasan ter atau panah (senjata) panah itu sesungguhnya simbol ketajaman pikiran (manah) atau tingkat kualitas pikiran. Kata kunci dalam kuningan adalah suddha jnana atau kesucian pikiran. Orang yang memiliki tingkat suddha jnana akan menemukan siddha (keberhasilan) yang disebut siddhi. Dengan demikian umat tak akan memiliki berantha jnana atau pikiran kotor atau diselimuti kebingungan.  Kuningan merupakan perayaan kemenangan sebagai anugerah Tuhan. Kemenangan itu dilukiskan sebagai keadaan yang aman dan sejahtera (raksanam daanam).

Kamis, 19 Maret 2020

Hari Raya Nyepi


HARI RAYA NYEPI
Oleh
I Made Kartiada, S.Ag, M.Si
Penyuluh Agama Hindu Kabupaten Badung

A. Pendahuluan
Hari raya atau hari suci keagamaan merupakan tema pokok yang secara rutin disampaikan dalam kegiatan bimbingan dan penyuluhan agama Hindu, yang biasanya  disampaikan menjelang pelaksanaan hari raya tersebut.  Hari Raya atau Hari Suci  (rerahinan) adalah hari yang diperingati atau diistimewakan, berdasarkan keyakinan bahwa hari tersebut mempunyai makna dan fungsi yang penting bagi kehidupan manusia dan alam semesta ini. Hari Raya atau hari suci Agama Hindu merupakan momentum penting bagi umat Hindu dalam menjalani hidup khususnya dalam upaya pendakian spiritual.
Pelaksanaan Hari Raya atau Hari Suci jatuh pada suatu siklus tertentu berdasarkan perhitungan yang sistematis.  Agama Hindu memiliki banyak Hari Raya atau Hari suci yang masing-masing memiliki pedoman penetapan tersendiri. Dasar-dasar penetapannya yaitu meliputi unsusr-unsur : wewaran, sistem tithi (tanggal-pangelong atau purnama tilem), wuku, sasih. Pertemuan-pertemuan antar unsur-unsur tersebutlah yang diperingati sebagai Hari Raya atau Hari suci secara bersiklus.
Secara garis besar Hari raya atau Hari Suci Agama Hindu dibagi menjadi dua yaitu : pertama yang berpedoman pada wuku  yang dipadukan dengan wewaran yaitu sapta wara dan panca wara sehingga waktu pelaksanaannya setiap 210 hari, diantaranya Saraswati, Galungan, Kuningan dan Tumpek-tumpek yang lainnya, Budha Cemeng dll. Kedua yang berpedoman pada sasih yang dipadukan dengan tithi  (tanggal-panglong atau purnama tilem) yang jatuh tiap tahun sekali, yaitu  Nyepi dan Siwaratri.
Dari sekian banyak hari raya yang ada dalam agama Hindu, Nyepi adalah satu-satunya yang diakui secara nasional. Kalau pada hari Raya Hindu seperti Galungan-Kuningan, Siwaratri, Saraswati dan beberapa hari Raya lainnya tidak disertai libur nasional akan tetapi Hari Raya Nyepi peringatannya disertai dengan libur Nasional. Nyepi juga menjadi sorotan dunia karena pada pelaksanaan Nyepi khususnya di Bali dilakukan penutupan stasiun angkutan umum, maupun bandara internasional. Untuk itu Nyepi merupakan Hari Raya atau Hari suci yang selalu menarik untuk dikupas, maka dalam kesempatan ini tema yang saya angkat adalah tentang Nyepi.

B. Rangkaian upacara sebelum Nyepi
Sebelum hari Raya Nyepi dirayakan pada pinanggal pisan Sasih Kedasa selalu didahului oleh upacara Melasti, Nyejer dan Tawur Kesanga. 

1. Melasti
Melasti yang disebut juga melis atau makiyis dapat dilaksanakan mulai pada pinanggal 13 sampai pada hari tilem secara kesanga. Namun sebagian besar umat Hindu di Bali melaksanakan melasti pada pinanggal 13  yang mengacu kepada petunjuk lontar Sundarigama yang menyebutkan “ikana pwa ya triya dacin ikang krsna paksa lelastyakna ika pratima……”
Upacara melasti ini dilakukan oleh berbagai kelompok umat yang memiliki sungsungan Pura. Simbol-simbol sakral seperti Pratima atau Pecanangan dari Para Dewata manifestasi Tuhan/Hyang Widhi yang dipuja di suatu Pura tersebut berkumpul di Pura Desa dan simbol-simbol sakral itu distanakan di Pura Desa Adat bersangkutan. Pada saat yang telah ditentukan secara berpawai di Bali  disebut mapeed  semua simbol-simbol sakral itu diusung dari Pura Desa menuju sumber air seperti : laut, sungai, beji maupun danau. Di sumber air itulah upacara puncak melasti dengan inti upacara dengan inti upacara menghaturkan bhakti kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Baruna dan terakhir nunas tirtha wangsuhpada sebagai simbol tirtha amertha kamendalu yang didapatkan di tengah Segara. Upacara melasti mengelilingi jalan-jalan desa tempat pemukiman itu bertujuan untuk menyucikan secara spiritual lingkungan desa tersebut. Penyucian itu dilakukan dengan menghadirkan Pratima dan simbol-simbol suci lainnya. Hal ini sangat diyakini oleh Umat Hindu vibrasi spiritual kepada umat sekitarnya.
Makna upacara melasti dan Tawur Kesanga ini dijelaskan dalam Lontar Aji Swamandala dan Lontar Sundarigama. Dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala  disebutkan sebagai berikut :

Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata angayutaken Laraning Jagat, papa klesa,Letuhing bhuwana.

Artinya :

Melasti adalah menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa dan kekotoran alam semesta.

Di dalam Lontar Sundarigama menyebutkan tujuan melasti adalah sebagai berikut :

            “Amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara. “
Artinya :
Mengambil sari-sari kehidupan di tengah samudra.

Dari kutipan Lontar tersebut diatas terkandung makna yang sangat luas dan dalam mengenai arti dan makna Upacara Melasti tersebut.  Luas dan dalam arti yang tersurat dan tersirat dalam bunyi Lontar tersebut kalau kita kaitkan dengan kehidupan  kita di planet Bumi ini. Dari kutipan Lontar Sang Hyang Aji Swamandala tersebut Upacara Melasti menuntun melakukan tiga langkah dalm hidup ini agara hidup itu menjadi bermakna tiga langkah tersebut adalah :

a.    Anganyutaken Laraning Jagat
Ini artinya dengan upacara Melasti kita dimotivasi secara ritual untuk membangkitkan spiritual kita untuk berusaha menghilangkan Laraning Jagat. Kata  Jagat biasanya disinonimkan kata bhuwana yang memiliki makna yang menyeluruh atau luas. Menghilangkan Laraning Jagat berarti menghilangkan Lara yang ada di alam luas ini (bhuwana agung) dan juga Lara yang ada dalam diri manusia (bhuwana alit). Kata Lara dan Jagat sudah sangat dipahami oleh umat Hindu di Bali. Lara ini agak mirip dengan hidup menderita. Hanya saja  yang disebut dengan Lara tidaklah semata-mata orang yang miskin  materi. Banyak juga orang kaya dan berkuasa, orang yang berpendidikan tinggi,  keturunan bangsawan hidupnya Lara. Orang kaya menggunakan kekayannya untuk membangkitkan kehidupan dengan mengumbar hawa nafsu. Kekuasaan dijadikan media untuk mengembangkan ego atau menggunakan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi bukan untuk mereka yang menderita. Demikian juga banyak ilmuwan menjadi sombong karena merasa diri pintar. Banyak juga orang yang meninggi-ninggikan kewangsaannya. Sifat-sifat yang negatif itulah yang akan menimbulkan disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Jadinya menghilangkan baik yang bersifat niskala maupun yang bersifat sekala.

b.    Papa Klesa. 
Para  Pinandita dan Pandita dalam mengantarkan  Upacara keagamaan Hindu selalu mengucapkan Mantram  : Om Papa Klesa Winasanam. Mantram ini hampir tidak pernah dilupakan. Arti mantram tersebut adalah : Ya Tuhan semoga Papa Klesa itu terbinasakan. Papa adalah predikat bagi mereka yang dibelenggu oleh indria dan obyek indrianya sehingga lupa akan jati dirinya ( tan menget ri jatinia ). Hidup yang “Papa” disebabkan oleh klesa (penyakit batin/kemelekatan ) yang mendominasi diri pribadi manusia. Dalam ajaran Yoga klesa disebut sebagai lima kekuatan negatif yang dibawa oleh unsur pradhana yang menghambat kotemplasi menuju Samadhi.. Kelima klesa itu terdiri dari : Awidya (kebodohan/kegelapan), Asmita (pandangan atau pemahaman yang salah), Raga (nafsu yang tidak terkendali), Dwesa (kebencian) dan Abhiniwesa (rasa takut akan kematian). Inilah yang harus diatasi agar jangan hidup ini menjadi papa. Hidup yang papa itu adalah hidup yang berjalan jauh diluar garis dharma yang membawa orang semakin jauh dari Tuhan.

c.    Letuhing Bhuwana
       Yang dimaksud dengan bhuwana yang “ Letuh “ adalah alam yang kotor atau tidak lestari. Letuh artinya kotor lahir batin. Kata Letuh padanan katanya dalam Sansekerta adalah mala yang merupakan kebalikan dari nirmala (suci). Kekotoran baik secara lahir maupun batin merupakan hambatan untuk mendaki jalan spiritual menuju Yang Maha Suci. Karena untuk menuju Yang Maha Suci Tuhan, tentunya diri kita juga harus suci. Hal ini sesuai dengan Puja banten  Suci : “ agni madya rawis caiwa, rawis madya tu candramah, candra madya bhawet sukla, sukla madya sthita siwah “. Puja ini menegaskan bahwa dalam kesucian berstana Siwa. Maka sebelum memasuki Nyepi segala kekotoran yang ada di bhuwana agung dan bhuwana alit harus dilenyapkan.

2.  Nyejer
Selesai upacara melasti di laut atau di sungai maupun di danau segala simbol-simbol suci itu kembali diusung ke Pura Desa dan distanakan di Bale Agung Pura Desa secara bersama-sama. Setelah melasti dilanjutkan dengan upacara nyejer. Upacara nyejer itu dilakukan dengan terus menstanakan simbol-simbol suci seperti ; Pratima, Pecanangan dengan segala perlengkapannya berkumpul di Pura Desa atau Bale Agung. Setiap hari selama nyejer dihaturkan sesaji dan dengan memperbaharui banten-banten yang telah ada. Kata “Nyejer“ berasal dari kata “jejer“ yang artinya tegak tak tergoyahkan. Jadinya tujuan nyejer yang sesungguhnya membangun sradha dan bhakti yang tangguh atau jejer pada Tuhan. Rasa Ke-Tuhanan yang tangguh itu akan dapat memberikan manusia kekuatan untuk mengendalikan hidupnya sehari-hari yang dihadang oleh berbagai bentuk godaan. Kalau keyakinan pada Tuhan demikian tegak dan teguhnya maka godaan demi godaan akan dapat diatasi dengan baik dan benar karena manusia itu sering lupa maka setiap sasih Kesanga dalam rangka upacara melasti dan Tawur Kesanga umat Hindu diingatkan kembali agar selalu nyejer artinya menegakkan keyakinan dan bhakti pada Tuhan sebagai kekuatan dasar dalam menghadapi dinamika kehidupan ini.

3. Tawur Kesanga
Tawur Kesanga tergolong Upacara Bhuta Yadnya, yang pelaksanaannya bertepatan dengan tilem kesanga (cetra masa) yang dalam kalender masehi diantara Maret dan April. Bhuta Yadnya yang di dalam Manawa Dharma Sastra disebut balir bhauto merupakan persembahan terhadap bhuta kala. Dalam ajaran Ketuhanan Agama Hindu di Bali Tuhan meliputi berbagai aspek yang di dalam Jnana Siddhanta dinyatakan bersifat (eka aneka swa laksana bhatara). Dalam konsep rwa bhineda Tuhan meliputi dua sisi yang berlawanan namun berpasangan. Tuhan meliputi wujud ”rahu” yaitu wujud gelap yang disebut bhuta dan juga wujud ”ketu” yaitu terang yang disebut Dewa. Persembahan kepada Tuhan dalam wujud gelap ”rahu” inilah disebut Bhuta Yadnya, yang tujuannya agar Tuhan meninggalkan wujud-Nya yang gelap (bhuta) menjadi wujud terang ( Dewa ), yang dikenal dengan istilah ” somia ”.
Penetapan waktu pelaksanaan Tawur Kesanga berorientasi pada alam. Dilihat dari permukaan Bumi maka Matahari 2 kali dalam setahun berada di atas Garis Katulistiwa yaitu Bulan Maret (sasih ketiga) dan September (sasih kesanga). Pada Tanggal 21 Maret Matahari tepat berada di atas Katulistiwa garis tengah Bumi atau pada saat ini sumbu Bumi membuat sudut 90 derajat tegak lurus terhadap poros bumi-Matahari sehingga Kutub Utara-Selatan terletak sama jauh terhadap Matahari akibatnya lamanya waktu siang dan malam adalah sama yaitu 12 jam (Wiswayana). Raja Kaniskha dinobatkan menjadi raja pada Tahun 78 M kemudian Pada Tanggal 22 Maret 79 ditetapkan oleh Raja Kaniskha sebagai Tahun Baru Saka atau Tanggal 1 Bulan 1 Tahun 1 Saka karena itu sehari siebelumnya yaitu tanggal 21 Maret 79 terjadi peristiwa alam yang sangat penting yaitu Gerhana Matahari dan Bulan ( Surya Candra Graha ) atau dikenal dengan istilah Sadasitimuka, dimana Matahari Bulan dan Bumi berada dalam satu garis lurus (Wiswayana-Sadasitimuka). Maka Pada Bulan Maret oleh Raja Kaniskha dimulainya Tahun Baru Saka karena melihat kejadian Alam yang sangat Penting yaitu kedudukan Matahari Bumi Bulan Tegak Lurus.
Jadi perhitungan penetapan Tahun Baru Saka sangat memperhatikan posisi Bumi- Bulan-Matahari,dengan melihat Bulan-Matahari dari permukaan Bumi. Makna yang terkandung dari penentuan sistem ini adalah bahwa umat Hindu sangat memperhatikan benda-benda langit yang bersinar dengan berwawasan kesemestaan ”Cosmic of Oriented” atau dalam Hindu disebut Brahmanda. Secara Spiritual menunjukkan umat Hindu mempunyai Orientasi pada Sinar (Divine) maka muncul kata Dewa (Div = Sinar). Sehingga menyadari hakekat dirinya adalah cahaya suci Tuhan yang Maha Kuasa dan selanjutnya ingin membangun ”Divine Man and Divine Society”. Matahari/ Surya adalah Benda bersinar dilangit yang diam atau sesuatu yang tak berubah menjadi sumber sinar/cahaya/api dialam semesta sehingga dijadikan pusat orientasi umat Hindu sebagai yang abadi/ Maha Cahaya lalu dijadikan Sthana Tuhan Yang Maha Kuasa kemudian Di Bali disebut Hyang Siwa-Aditya. Istilah Siwa-Aditya muncul karena terjadi panunggalan antara Siwa dan Aditya hal ini terjadi pada saat Nyepi yaitu pada Tilem, sehari sebelum Hari Raya Nyepi, Karena Surya berada pada saat Wiswayana yaitu Surya tepat diatas Katulistiwa garis tengah Bumi. Pada saat Wiswayana adalah saat yang sangat tepat untuk melaksanakan penyucian Bhuwana dan Pemujaan pada Tuhan yang disebut sebagai Wiswa, Wiswa tiada lain adalah Sebutan Hyang Siwa. Hal ini disuratkan dalam Kakawin Sutasoma Karya Mpu Tantular sbb: ” Rwaneka dhatu winuwus wara Budha Wiswa ” Dua jalan kebenaran yang utama yaitu Siwa dan Budha. Pelaksanaan Upacara pada saat Tilem berhubungan dengan tujuan memuja Hyang Siwa  disebut pula Bhutapati, Bhuteswara .
Pelaksanaan Tawur Kesanga di Bali yang dilaksanakan dengan Upacara Yadnya dari tingkat rumah tangga, lingkungan Banjar, Desa sampai ke tingkat pusat.
Adapun tingkatan upacaranya yaitu sebagai berikut :
1. Tingkat Provinsi
Menggunakan Upacara Tawur Agung. Dilaksanakan dengan mengambil tempat pada Catus Pata pada saat tengai tepet (sekitar Pk. 12.00 Wita)
2. Tingkat Kabupaten/Kota
Menggunakan Upacara Tawur Agung. Dilaksanakan dengan mengambil tempat pada Catus Pata pada saat kala tepet (sekitar Pk. 12.00 Wita). Apabila Kabupaten/Kota belum mampu melaksanakan Tawur Agung, disarankan paling tidak menggunakan tingkat Yadnya Panca Kelud atau sesuai dengan kemampuan.
3. Tingkat Kecamatan
Menggunakan Caru Panca Sanak yaitu dengan 5 (lima) ekor ayam ditambah itik belang kalung serta kelengkapannya atau sesuai kemampuan. Pelaksanaannya di Catus Pata pada waktu siang, tajeg surya/kala tepet (sekitar Pk. 12.00 Wita)
4. Tingkat Desa
Menggunakan Caru Panca Sato dengan 5 (lima) ekor ayam (Panca Warna) serta kelengkapannya, atau sesuai dengan kemampuan. Pelaksanaannya di Catus Pata pada waktu Sandi kala  (sekitar Pk. 18.30 Wita)
5. Tingkat Banjar
Menggunakan Caru Eka Sato yaitu ayam brumbun dengan olahan urip (urip bhuwana) beserta kelengkapannya atau sesuai dengan kemampuan. Pelaksanaannya di Catus Pata pada waktu Sandi Kala  ( sekitar Pk. 18.30 Wita )

6. Tingkat Rumah Tangga
a. Mrajan/Sanggah menghaturkan banten sakasidan (semampunya) dan dinatar depan Pelinggih cukup menghaturkan segehan alit atanding.
b. Di jaba/lebuh (depan pintu masuk halaman rumah) menghaturkan yadnya sebagai berikut :
   -    Segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam berumbun, disertai tetabuhan tuak, arak, berem, air tawar, dihaturkan kepada Sang Bhuta Raja dan Sang Kala Raja.
   -    Segehan nasi cacah 108 tanding dengan ulam jajeroan matah dilengkapi dengan
        segehan agung serta tetabuhan tuak, arak, berem, air putih dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Kala dan Sang Kala Bala. Semua segehan tersebut dihaturkan di bawah pada saat sandi kala ( sekitar Pk.18.30 Wita )
c. Semua anggota keluarga (kecuali yang belum maketus/giginya tanggal  mabya kala dan maprayascita di halaman rumah masing-masing. Setelah itu dilanjutkan dengan Pangrupukan (mabuwu-buwu) berkeliling rumah masing-masing dengan sarana api (obor atau perakpak), bunyi-bunyian (kulkul bambu dan pangeplogan dari pelapah kelapa), sapu lidi
7. Pelaksanaan Ngerupuk
Akhir pelaksanaan Tawur Kesanga terutama tingkat desa, Banjar dan rumah tangga adalah melaksanakan upacara mabuwu-buwu atau lebih dikenal dengan ngerupuk. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat ngerupuk antara lain :
1. Pengerupukan agar dilaksanakan dengan tertib dan aman dengan nilai-nilai kesucian keagamaan serta dipimpin Bendesa/Kelian Adat dan Kepala bersangkutan dan untuk rumah tangga dipimpin oleh kepala keluarga.
2. Sarana pokok ngerupuk berupa api, bawang merah, mesui dan bunyi-bunyian.

B. Nyepi Pergantian Tahun Baru Saka, Peringatan Sunya
Jika semua masyarakat dunia selalu merayakan Tahun Baru Masehi secara meriah, penuh suka cita, Umat Hindu juga merayakan pergantian Tahun Saka setiap tahun akan tetapi dengan cara yang berbeda. Umat Hindu merayakan Tahun Baru Saka melalui sebuah rangkaian upacara, yang tidak dimiliki oleh umat lain. Secara harfiah Nyepi berarti sepi, sepi berarti hening, Umat Hindu setiap tahun setiap tahun diingatkan untuk mengheningkan diri dari kesibukan-kesibukan untuk memenuhi keinginan yang sifatnya duniawi sehingga hari Raya Nyepi dipakai sebagai momentum bahwa apapun yang hidup di dunia ini setelah beraktifitas harus ada jeda waktu istirahat.
Hari raya Nyepi datang setiap Setahun sekali yaitu pada Penanggal 1 Sasih Waisaka (Kedasa), sehari setelah Tilem Caitra (kesanga) Hari ini dijadikan sebagai ”Tahun Baru Saka” ditandai dengan Brata Penyepian yang intinya adalah Pengendalian, pengekangan diri menuju kesadaran atau keheningan (mengoreksi diri, mengontrol diri, menjaga diri untuk mendapatkan perubahan yang tinggi menuju suatu kesadaran yaitu Parama Sunya).
Setelah melaksanakan Bhuta Yadnya pada Tilem Caitra selanjutnya umat Hindu melaksanakan Brata Penyepian yang intinya melaksanakan Tapa, Brata, Yoga dan Samadi, pada Hari raya Nyepi umat Hindu dapat berharap memasuki alam Sunya, alam yang sempurna Heneng dan Hening. Dang Hyang Nirartha dalam dua Karyanya yaitu ” Dharma Sunya dan Dharma Putus ” menekankan bahwa Sunya tersebut adalah kesadaran ketika telah bersatu dengan Paramasiwa. Oleh karena Paramasiwa dipuja sebagai Sang Hyang Sakala Atma, Jiwa dari segala yang hidup. Paramasiwa juga digambarkan sebagai ”Sang saksat pinakesti ning manah aho” Beliau tak ubahnya sebagai isi pikiran suci dan ” Sang mawak ring tuturku ” Beliau yang berwujud dalam kesadaranku. Demikian Sang Kawi-Wiku-Yogi mencurahkan segenap penguasaan kata dan kekuatan imajinasinya dalam proses Yoga. Dalam Lontar Jnana Sidhanta disuratkan bahwa Sunya adalah alam dari Paramasiwa yang dalam keadaan tidak aktif, alam inilah yang ingin dicapai oleh para Kawi-Wiku-Yogi yakni alam yang hening, heneng dan cemerlang yang dilaksanakan setiap hari dengan membangun api suci dalam dirinya dan menjadikan segala keinginannya menjadi korban dengan tujuan untuk mencapai kesucian diri karena pada tingkat kesadaran yang tinggi itu nantinya para Yogi mencapai alam Sunya, dialam itu pula Sang Yogi akan bersatu dengan Hyang Paramasiwa/Hyang Parama Sunya.
Hal ini apabila dikaitkan dengan konsep penciptaan dunia yang terdapat dalam Sastra-sastra Hindu kiranya Nyepi merupakan peringatan terhadap konsepsi Sunya atau Windu sebagai titik awal eksistensi semesta dan juga merupakan sasaran bagi pecinta ajaran kelepasan dan Yoga.
Salah satu sumber yakni Rg. Weda X. 129. 3 menyebutkan sebagai berikut :
Tama asit tamasa gulhamagrepraketam,
Salilam sarwama idam,
Tucchyenabhvapihitam yadasit,
Tapasastan, ahimnajayataikam
Artinya :
Pada awalnya adalah kegelapan yang sangat pekat,
Semua yang ada ini tidak terbatas dantidak dapat dibedakan.
Yang ada saat itu adalah kekosongan dan tanpa bentuk.
Dengan tenaga panas yang sangat dahsyat terciptalah kesatuan yang kosong

Pada saat hari Raya Nyepi yang diistirahatkan adalah nafsu-nafsu. Untuk melatih pengendalian nafsu itu maka pada saat menjelang Nyepi ada rangkaian upacara yang dapat secara tidak langsung bermakna dan melatih fisik maupun mental menjadi stabil atau seimbang yang disebut jagadhita. Tentang tata cara pelaksanaan pada Pinanggal Pisan Sasih Kedasa ( Nyepi ) mengikuti Catur Brata Panyepian yaitu : Amati Gni (tidak berapi-api/tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak boleh bekerja), Amati Lelungaan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak boleh memuaskan hawa nafsu/kesenangan/hiburan). Tentang Brata Panyepian tersebut dalam Sundarigama disebutkan :
“ ….Nyepi amatigni, tan wenang sajadma anyambut karya sakaluwirnia, agnigni saparanaya tan wenang, kalingania wenang sang weruh ring tattwa angeLaraken samadhi, Tapa, Brata, Yoga amatitis kasunyatan “

Artinya :

“ Hari Nyepi, tidak benar semua orang melakukan pekerjaan, berapi-api karena mereka yang tahu hakekat agama, melaksanakan Samadhi, Tapa, Yoga, memusatkan pikiran menuju kasunyataan “.

Pelaksanaan Nyepi dilakukan melalui Catur Brata peNyepian untuk dapat Sepi, Sipeng lahir dan batin, ke empat Bratha itu adalah :

1.    Amati Geni :
Tidak menyalakan Api secara lahir, sedangkan secara batin berusaha untuk menghentikan dan meredakan nafsu yang mengarah pada hal-hal bersifat negatif seperti ; Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira dll.

2.    Amati Karya :
Tidak bekerja secara lahir, sedangkan secara bhatin berusaha untuk menghentikan kegiatan jasmani dengan merenung dan menghitung-hitung perbuatan di masa lampau, seberapa yang masih perlu di perbaiki karena kesempatan yang diperoleh itu justru patut dipergunakan untuk menolong diri dengan jalan berbuat baik.

3.    Amati Lelungan :
Tidak pergi yaitu menyediakan waktu untuk memusatkan pikiran melaksanakan tapa, brata, yoga, semadhi dan mawas diri.
4.    Amati Lelanguan :
Menekan/meredam hawa nafsu/kesenangan terhadap Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, dll. Selain itu berusaha mengurangi kesenangan yang berlebihan mengarah pada kesombongan dan berakhir dengan kesusahan itu karena hal tersebut bukan merupakan tujuan.

Umat Hindu melaksanakan Catur Brata Panyepian selama 24. jam penuh dari jam 06.00 pada Pinanggal Pisan Sasih Kedasa sampai keesokan harinya jam 06.00 dilanjutkan dengan Ngembak Geni.
Adapun rangkaian Upacara Nyepi tersebut antara lain seperti : Melasti, Nyejer, Ngerupuk, Nyepi dan Ngembak Geni.

C. Ngembak Geni
Sehari setelah Nyepi adalah Ngembak Geni, artinya menghentikan kegiatan Bratha. Setelah memasuki alam Sunya atau sepi mulailah kita memasuki tahun atau suasana tahun baru dengan semangat yang baru. Kondisi batin setelah memasuki alam sunya tentunya cemerlang, dan teguh dalam pelaksanaan dharma. Seperti yang dilukiskan dalam Kekawin Arjuna Wiwaha “Ambek Sang Paramartha wus limpad sakeng sunyata“. Penghayatan terhadap sunya hendaknya menjadi inspirasi setiap gerak dan langkah  setiap orang yang telah melaksanakan brata panyepian.

D. Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas Hari raya Nyepi adalah hari perayaan Tahun Baru Saka yang dirayakan secara keagamaan, yakni dengan Melasti, Mekiyis atau Melis, Nyejer, mempersembahkan Tawur Kesanga serta pangerupukan, melaksanakan Catur Berata Panyepian, melakukan Tapa, Yoga dan Samadhi.
Brata Nyepi bila dilaksanakan dengan mantap mengantarkan seseorang meningkatkan kualitas diri yang tentunya akan sangat handal dalam mengantisipasi perkembangan dunia.



DAFTAR PUSTAKA

Agastia, Ida Bagus Gede. 2008. Panca Balikrama Padma Mandala dan Sad Kahyangan Denpasar : Dharmopadesa Pusat
------------------------------. 1997.  Memahami Makna Siwa ratri. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra
Putra. 2005. Cudamani.Jilid I.  Denpasar : Kanwil Dep. Agma Provinsi Bali (cetak ulang)

Proyek Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan Desa. 1987. Sundarigama. Tabanan : PHDI
Sura, I Gede. 1996. Weda. Jakarta : Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha