Hari Raya
Galungan dan Kuningan
Oleh :
I Made Kartiada. SAg, M.Si
Penyuluh Agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kab. Badung
1. Pengertian Umum dan Mitologi
Galungan dan Kuningan.
Hari raya Galungan adalah salah satu bentuk dari
pelaksanaan dewa yajna. Hari raya Galungan adalah hari raya
keagamaan yang berdasar pada wuku, yang datangnya setiap 210 hari atau
enam bulan sekali dan jatuh pada hari Rebo/Budha Kliwon Dungulan. Kata
Galungan berasal dari kata “Galunggang” yang berarti tertancapnya sebuah
panah. Kata panah memiliki maksud “manah” atau hati sanubari. Dengan demikian tertancapnya
sebuah panah mengandung maksud tercapainya titik tujuan akhir atau menuju
kecemerlangan atau dharma. Menurut Lontar Medang Kemulan
disebutkan bahwa kata Galungan berasal dari kata “Ga” dan “Lungan”.
“Gal” yang berarti tunggal dan “Lungan” berarti pergi yang dalam
bahasa Bali disebut melampah atau berperilaku. Ini terkait dengan perginya Sri Aji Jayakesunu dari kerajaan untuk
melakukan tapa di tengah hutan dengan
tidak dikawal oleh satu orang pun.
Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan,
tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam Lontar ini disebutkan :
“Punang act Galungan ika ngawit, Bu,
Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang
Bali rajya”.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra loka.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh
umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih
selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103
Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya
memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk
pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi.
Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur
para pejabat kerajaan konon menjadi relatif lebih pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka,
barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih
selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja
Sri Jayakasunu merasa heran mengapa
raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk
mengetahui penyebabnya, Raja Sri
Jayakasunu mengadakan tapa brata
dan samadhi di Bali yang terkenal
dengan istilah Dewa Sraya artinya
mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya
itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena
kesungguhannya melakukan tapa brata. Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik
atau
“bisikan
religius”dari Dewi Durgha, sakti dari
Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja
bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada
Raja Sri Jayakasunu supaya kembali
merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon
Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu
disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan
Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan
hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan
negatif (Buta Kala) dari diri manusia
dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri
Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan
hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Secara
Mitologi Hari Raya Galungan juga diuraikan dalam lontar Usana Bali yang menceritakan bahwa perayaan Galungan adalah suatu
peringatan atas kemenangan Bhatara Indra
bersama Bhatara Wisnu dalam
pertempurannya melawan KI Mayadenawa,
dengan kemenangan dipihak Bhatara Indra
bersama Bhatara Wisnu. Untuk
mengenang kematian Ki Mayadenawa
akibat peperangan tersebut, maka pada hari itu diperingatilah dengan perayaan
hari raya Galungan. Dalam hal ini kata Galungan berasal dari urat kata “Gal”
dan “Gal” berasal dari kata penggal atau punggel (bahasa Bali).
Kata “Lung” yang berarti patah
atau pisah. Kata “Lungan” (kata benda) yang berarti patahan-patahan.
Kemudian hari ini populer disebut denga hari raya Galungan yang hahekatnya
bertujuan untuk memperingati kematian Ki
Mayadenawa di Tukad Yeh Petanu (sungai Yeh Petanu) di daerah pejeng sekarang.
Ki Mayadenawa bisa dibunuh setelah Bhatara Indra berhasil memenggal dan Bhatara Wisnu berhasil memotong-motong
tubuh Ki Mayadenawa. Kemenangan ini
diperngati dalam hari raya Galungan yang melambangkan hari kemenangan dharma
melawan adharma.
Kuningan berasal dari kata “Kauningan”.
Hal itu didapat ketika masyarakat memenangkan musuh yang ada dalam tubuh yang
disebut dengan dasa indria. Kuningan intinya memuja Tuhan dalam keheningan.
Dalam keheningan itu diharapkan muncul div
atau sinar suci Tuhan. Selain panah, dalam Kuningan juga dipasang endongan yang merupakan simbol
perbekelan (logistik) dalam perang. Sedangkan dalam konteks keberagamaan, endongan tersebut bermakna bekal dalam
mengarungi kehidupan seterusnya. Bekal itu tiada lain adalah karma atau hasil
dari perbuatan, apakah ia Subha Karma
(perbuatan baik) atau Asubha Karma
(perbuatan buruk).jadi hanya karma diri sendirilah sebagai bekal untuk menuntun
menuju perjalanan selanjutnya. Selain endongan
dalam Kuningan juga dipasang tamiang yang
merupakan perlambang perisai diri. Untuk menjaga serangan musuh maka diperlukan
perisai. Yang dimaksud adalah pengendalian diri dan pelajaran agama yang
dianggap sebagai benteng terhadap diri.
2. Aktulisasi Nilai Hari Raya Galungan Dan Kuningan Dalam Kehidupan.
Galungan merupakan hari kemenangan Dharma melawan Adharma, memiliki tujuan agar umat mampu anyeking jnana, yang artinya umat mampu mengendalikan pikiran.
Dengan pikiran yang galang apadang
(pikiran yang cerah) umat akan mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Dengan demikian, sifat-sifat Adharma dapat
dijauhkan dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu dengan memusatkan pikiran
diharapkan umat dapat menjiwai segala perkataan (wacika) dan perbuatan (kayika)
dan perbuatan (kayika) menjadi sudha nirmala.
Dalam memaknai Galungan umat mestinya
bertanya dalam hati apakah sudah mengalami kemenangan dalam mengarungi hidup.
Untuk mengetahui hal itu jawabannya ada pada diri sendiri. Oleh karena itu
melalui perayaan Galungan ini kita dapat mengevaluasi diri dan intsrospeksi
diri. Apakah sudah mampu menegakkan dharma?,
pertanyaan itu dapat ditanyakan pada diri sendiri. Karena itu hari raya
Galungan sangat tepat dijadikan tonggak untuk instrospeksi. Dengan demikian
dapat diketahui apakah selama ini kita sudah menang (jaya) dalam bertempur
melawan Adharma?. Hal itu patut
direnungkan sebagai pengejawantahan pelaksanaan hari raya Galungan sebagai
salah satu wujud kemenangan Dharma
melawan Adharma. Disamping itu lewat
perayaan hari raya Galungan umat diharapkan lebih menumbuhkan rasa kesatuan dan
persatuan diantara intern umat dan sesama umat, sebagai praktik dari nilai
Penyajaan Galungan yaitu “Pengatayawaning Sang ngamong yoga semadhi”
yang artinya membuktikan kesungguhan hati orang yang melaksanakan yoga semadhi di dalam menghadapi godaan Sang Kala Tiga. Sang
Kala itu tidak jauh dari
diri manusia itu sendiri. Dalam diri manusia terdapat dua sifat yaitu raksasa
dan dewa. Dalam mencermati kedua sifat inilah memerlukan wiweka demi keharmonisan hidup. Sifat-sifat dewalah yang mesti
dikedepankan dalam mengarungi kehidupan ini, sehingga kaharmonisan hidup
tercapai.
Hari Raya Galungan pada hakekatnya sebagai
suatu peringatan untuk mengingatkan umat manusia agar senantiasa menguatkan jnana-nya sebagai kekuatan citta untuk menghadapi gelapnya awidya kekuatan negatif dari unsur klesa. Dalam diri manusia menurut Wrehaspati Tattwa ada dua arah yang
berlawanan dalam diri manusia yaitu unsur citta
sebagai alam pikiran dengan kesadaran budhi
yang berasal dari Atman. Sedangkan Klesa adalah unsur kegelapan yang
menjauhi kebenaran datang dari Pradhana.
Idealnya manusia akan dapat meraih kehidupan yang bahagia dan sejahtera apabila
mampu memposisikan kesucian citta
dengan jnana-nya di atas kekuatan klesa dengan awidya-nya. Jnana itu
adalah unsur citta yang ada dalam
diri setiap orang sebagai kekuatan suci untuk mengarahkan perilaku mulia
mengarungi hidup di dunia ini. Klesa
akan menjadi positif apabila ia berada di bawah kendali jnana citta. Ibarat kuda yang sehat dan kuat akan menjadi kekuatan
untuk menarik kereta mencapai tujuan apabila ada di bawah kendalin sais kereta
dengan lis sebagai tali kekangnya.
Terjadinya
berbagai gejolak zaman dewasa ini karena manusia hidup terjebak oleh kehidupan
yang hedonis. Hidup nikmat tentunya
boleh-boleh saja dan juga sah-sah saja. Yang penting jangan terlena oleh kenikmatan
duniawi itu. Kenikmatan duniawi itu cepat atau lambat akan berlalu sejalan
dengan proses kehidupan manusia. Tak ada manusia yang mampu menghindari siklus
lahir, hidup dan mati. Hari raya Galungan mengingatkan kita agar dengan jiwa
yang cerah mengikuti siklus lahir, hidup dan mati itu. Jiwa yang cerah dalam
perayaan Galungan itu dalam lontar
Sundarigama memuat ajaran bahwa dengan “patitis
ikang jnana sandhi galang apadang maryakena byaparaning idep” yang dapat
diartikan ketika hari raya Galungan dengan sarana bhakti yang dipersembahkan
kepada Hyang Widhi umat Hindu
diajarakan untuk memusatkan pikiran (patitis
ikang jnana sandhi) kepada-Nya, agar mendapat galang apadang (pencerahan pikiran) sinar kesucian dan jalan
kebenaran untuk menapak hidup dengan jalan kedamaian. Melalui pemusatan pikiran
yang benar, ketenangan dan kedamaian akan dapat diraih. Orang yang demikian
disebut mampu menghapus noda-noda pikiran (maryakena
byaparaning idep), maka lenyaplah segala pikiran yang berkaitan dengan
derita manusia sehingga dengan demikian
akan muncul kesucian dan kebaikan manusia dalam perilakunya. Jalan nyata untuk menuju kondisi itu tiada
lain dengan mengubah kebiasaan berkata fitnah ke kebiasaan berkata kasih,
mulanya sering berbohong berubah menjadi jujur. Mabuk-mabukan, berjudi, mencuri
dan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya mestinya dapat dihentikan dan dirubah
menjadi perbuatan positif dan bermanfaat. Setelah seseorang merayakan, memahami
dan melaksanakan makna Galungan dengan tulus diharapkan perilakunya berubah
menjadi penuh kasih sayang.
Walaupun
manusia ingin mengubah perilakunya ke arah lebih baik namun masih banyak yang
kebingungan mencari jalan menuju kedamaian.Sebenarnya kebingungan itu dapat
diatasi bila manusia mampu memaknai Galungan sebagai media spiritual yang
senantiasa mengandung nilai penyadaran dan kemenangan manusia dalam pergulatan
hidup untuk mengendalikan keinginan di dunia. Sesungguhnya, kemenangan dan pencerahan
hidup dapat diraih bila seseorang telah menjalankan dharma (kebenaran) itu sendiri.
Sementara
dalam hari raya Kuningan berbagai simbol perang mewarnai perayaan tersebut
seperti sampian tamiang. Simbol itu
dimaknai sebagai pertahanan diri yang ampuh adalah moral dan etika serta ilmu
pengetahuan. Dengan memiliki pertahanan seperti itu umat diharapkan mampu
menghadapi kegelapan, kebodohan dan musuh-musuh yang ada dalam diri, maupun
tekanan eksternal yang ingin merusak nilai kesucian, umat diharapkan dapat
mencapai jagathita. Demikian juga
dalam hari raya Kuningan bentuk ekspresi budaya masyarakat didominasi warna
kuning. Perayaan Kuningan
mengambil waktu pagi hari, ketika matahari mulai terbit. Memang pancaran
kesucian atau situasi keheningan didapat pada waktu tersebut. Pada saat itu
dipasang hiasan ter atau panah (senjata) panah itu sesungguhnya simbol
ketajaman pikiran (manah) atau tingkat kualitas pikiran. Kata kunci dalam
kuningan adalah suddha jnana atau
kesucian pikiran. Orang yang memiliki tingkat suddha jnana akan menemukan siddha (keberhasilan) yang disebut siddhi. Dengan demikian umat tak akan memiliki berantha jnana atau pikiran kotor atau diselimuti kebingungan. Kuningan merupakan perayaan kemenangan sebagai
anugerah Tuhan. Kemenangan itu dilukiskan sebagai keadaan yang aman dan
sejahtera (raksanam daanam).